jump to navigation

Minor Creativity Juni 9, 2008

Posted by hudzayfah in Coretan Kecil, Perjalanan Sang Waktu.
Tags: , , ,
add a comment

Dalam pemikiran Arnold Joseph Toynbee, “munculnya peradaban memang mengandung kehadiran agama yang dikendalikan para pemimpin yang memiliki visi masa depan serta memiliki kemampuan luar biasa dalam mengorganisir dan dalam mengajak manusia untuk mau diatur bagi kerja proyek-proyek jangka panjang yang hanya akan membuahkan hasil yang jauh. Itulah, menurut pendapat saya, gelombang pertama dari kemajuan spiritual, dan apa yang disebuat peradaban merupakan buahnya.”

Artinya, tegaknya sebuah peradaban harus ditunjang oleh seorang atau sekelompok kecil manusia yang memiliki visi jangka panjang di mana ia bisa merepresentasikan pemikirannya untuk mendukung kemajuan kolektif dari komunitasnya, sehingga pada fase selanjutnya kelompok minoritas itulah yang kemudian duduk menjadi pemimpin untuk menentukan arah serta wajah peradaban yang dilahirkannya.

Seorang atau sekelompok manusia inilah yang kemudian dikenal dengan istilah minor creativity. Minor creativity menjadi kekuatan inti bagi tegak atau runtuhnya sebuah peradaban. Mengapa? Karena dalam hal ini, mereka tidak sekedar menjadi manajer bagi peradaban tersebut, tapi juga sekaligus menjadi presiden direktur dan innovator bagi berkembangnya perusahaan peradaban tempat dimana ia hidup dan menghirup nafas. Ia lah yang akan menggoreskan berjuta catatan dalam lembar kehidupan kolektif komunitasnya. Ia pula yang akan mewarnai lukisan-lukisan perjalanan sejarah bangsanya.

Hampir setiap pemikir yang pernah mengeluarkan tesis tentang peradaban mengerucut pada kesimpulan bahwa peradaban akan melalui tiga fase dalam perjalanannya. Saya lebih senang menyimpulkannya dengan kata-kata yang sederhana, yaitu.

1. Fase lahirnya peradaban

Dalam fase ini, akan ada kemungkinan lahirnya beragam kebudayaan sebagai representasi dari ide ataupun gagasan minoritas yang kemudian diikuti oleh mayoritas. Kehadiran budaya yang baru tersebut memberikan warna yang baru bagi kehidupan sebuah komunitas. Jika kebudayaan yang hadir itu lebih dari satu, maka tinggal bagaimana sang ‘pemilik’ kebudayaan untuk menyebarkan ide dan gagasannya sehingga pada akhirnya ia yang hadir menjadi trend setter bagi mayoritas.

Dalam masa ini, banyak pendapat mengenai faktor apa yang akan menjadi kekuatan sebenarnya bagi minor creativity untuk menyebarkan ide dan gagasannya menjadi sebuah trend bagi mayoritas. Namun, faktor pengaruh dan nilai lebih yang ditawarkan minoritas menjadi yang paling utama dibandingkan faktor yang lainnya. Saat mayoritas telah mengikuti satu pola tertentu dari apa yang ditawarkan oleh minoritas tadi, maka di sinilah sebuah peradaban akan lahir sebagai identitas kolektif untuk mencapai ide, gagasan, serta visi-visi jangka panjang yang dibawa oleh minor creativity.

2. Fase tumbuh dan berkembangnya peradaban

Setelah sebuah peradaban tumbuh menjadi identitas kolektif anggotanya, maka ia akan berkembang sebagaimana sebuah kehidupan menjalani segala aktivitasnya. Namun, perlu diperhatikan bahwa fase ini merupakan fase penentuan yang akan menjadi batas, apakah peradaban tersebut dapat bertahan atau justru hancur dan akhirnya mati.

Kekuatan kolektif lain yang juga mengusung identitas bersama akan hadir sebagai kompetitor untuk menyebarkan ide dan gagasan yang diusung oleh komunitasnya. Hal ini akan menyebabkan sebuah pertarungan peradaban atau menurut tesis Huntington adalah apa yang disebut dengan clash of civilization. Bahkan jauh lebih dari itu, peradaban yang lebih dahulu mapan biasanya akan lahir sebagai sebuah peradaban yang diharapkan anggotanya dapat menjadi kiblat peradaban dunia. Artinya, yang kemudian terjadi saat dua peradaban ini bertemu adalah bukan clash of civilization, melainkan crushed the civilization, atau menghancurkan peradaban.

Hal tersebut yang terjadi pada saat ini, dimana peradaban barat yang mendominasi dunia mencoba menghancurkan segala macam peradaban yang sedang tumbuh dan berkembang pasca kemenangannya melawan peradaban komunis. Jika peradaban-peradaban baru itu tidak memiliki sebuah kekuatan minoritas yang akan membawa identitas bersama dalam sebuah panggung pertarungan ini, maka dapat dipastikan bahwa ia akan hancur di bawah bendera peradaban yang mapan tadi.

Maka dari itu, Ibn. Khaldun menyatakan bahwa satu kekuatan yang akan memberikan pemahaman tentang realita sebuah peradaban adalah ashabiyah. Maksudnya adalah ia yang akan mengibarkan bendera perlawanan terhadap penghancuran yang dilakukan kompetitor peradabannya. Walaupun secara sederhana ashabiyah memiliki kesamaan dengan chauvinism. Namun, para sejarawan muslim kontemporer lebih memahami makna ashabiyah sebagai kemampuan bagi sebuah komunitas untuk mempertahankan identitas dirinya sebagai kekuatan kolektif, dengan berbagai konsekwensi yang harus diterima setiap anggota dalam komunitas tersebut untuk tetap memegang teguh apa yang seharusnya menjadi identitas bersama. Dengan ini, menurut Ibn. Khaldun, sebuah komunitas akan bertahan dan bahkan dapat menjadi trend setter peradaban dunia.

3. Fase runtuhnya peradaban

Selain invasi yang dilakukan oleh peradaban lain, runtuhnya peradaban bisa juga disebabkan oleh tidak sanggupnya minoritas menjawab tantangan-tantangan yang hadir kemudian. Mengutip pernyataan Toynbee, bahwa pada saat minoritas menjadi lemah dan kehilangan daya ciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minoritas menyerah, mundur dan tidak akan ada pertumbuhan lagi, karena mayoritas sudah kehilangan arah untuk menentukan langkah hidupnya. Apabila keadaan sudah mencapai puncaknya, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Toynbee sendiri berpendapat bahwa keruntuhan sebuah peradaban itu terjadi dalam tiga masa yaitu.

a) Kemerosotan kebudayaan. Dikarenakan minoritas kehilangan daya cipta serta kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Hal ini membuat hubungan antara minoritas dengan mayoritas terpecah dan tunas-tunas hidupnya peradaban akan lenyap, seiring dengan lenyapnya identitas kolektif yang pada awalnya ‘diciptakan’ minoritas.

b) Kehancuran peradaban. Masa ini mulai tampak setelah tunas-tunas peradaban itu mati dan pertumbuhan terhenti. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, karena sisa-sisa peradaban yang mati itu akan membatu menjadi fosil.

c) Lenyapnya kebudayaan. Yaitu suatu masa Dimana tubuh peradaban yang sudah membatu itu hancur-lebur, lenyap dan tidak bersisa.

Dapat kita lihat bersama bahwa kehadiran minor creativity menjadi kartu As bagi tumbuh dan berkembangnya sebuah peradaban. Keruntuhan peradaban yang disebabkan oleh melemahnya minoritas biasanya terjadi dalam selang waktu yang cukup panjang. Jika Islam merupakan peradaban yang lahir dari kekuatan minoritas Jazirah Arab, dalam hal ini Rasulullah Muhammad saw. dan generasi Shahabat, maka keruntuhan peradaban Islam tampak setelah minoritas itu telah tiada.

Pada fase peralihan kekuasaan seperti ini memang rawan terjadi konflik. Hal ini disebabkan oleh kekuatan minoritas yang menjadi trend setter nilai telah tiada. Hal ini kemudian membuat beberapa kelompok di bawahnya mengklaim menjadi pewaris tunggal dari peradaban yang telah tegak tadi. Sehingga kita pun mendengar kisah-kisah tragis yang begitu politis pasca Kekhalifahan Hasan ibn. Ali ibn. Abu Thalib. Akhirnya, muncul Kesultanan Islam yang membawa identitas kolektifnya masing-masing, melupakan identitas bersama yang dibawa oleh Rasulullah saw. dan para Shahabat. Identitas ashabiyah bangsa arab muncul kembali setelah sekian lama ia terbenam oleh fajar Islam yang gemilang. Bahkan pada fase selanjutnya, ashabiyah yang ditawarkan telah bercampur dengan kebudayaan yang asing sebagai bentuk akibat dari tidak adanya kekuatan minoritas-minoritas baru – para pewaris peradaban – untuk membawa mayoritas ke dalam satu identitas yang bisa meluluhlantakkan sekat-sekat perbedaan demi sebuah visi kolektif yang dibawa generasi pertama peradaban Islam.

Akibatnya, peradaban Islam yang berbasis nilai ‘resmi’ runtuh setelah Mu’awiyah menjadi Sultan bagi Kerajaan Islam. Saya menyebutnya Kerajaan Islam karena Mu’awiyah kemudian menghilangkan mekanisme musyawarah yang menjadi ciri khas peradaban Islam. Ia menunjuk anaknya, Yazid sebagai pengganti dirinya. Sedangkan di tempat lain, muncul kekuatan minoritas baru yang ingin mengembalikan kereta api peradaban Islam ini ke atas relnya. Sayangnya, pengaruh yang ditawarkan Mu’awiyah mendapat dukungan lebih besar – terlepas bagaimana peran kaum munafik dan kafir di dalamnya, yang pasti pada masa ini kekuatan kolektif Husaiyn ibn. Ali ibn. Abi Thalib ternyata justru menjadi api fitnah yang menyebabkan dengan mudahnya kedua kelompok muslim ini bertempur dahsyat di Karbala. Sejak saat itulah peradaban Islam yang dibawa Rasulullah saw. mengalami keruntuhan nilai, sehingga segala macam proses yang dibangun oleh generasi selanjutnya tidak memiliki tolak ukur nilai yang benar sebagaimana yang telah digariskan oleh Rasulullah saw.. Hal ini pula yang menyebabkan peradaban selanjutnya begitu rapuh dan akhirnya benar-benar berakhir semenjak diberlakukannya hukum sekuler di Turki pada tahun 1924 menggantikan hukum Islam.

Kini, peradaban Islam sedang dalam proses menuju kelenyapan. Bahkan di antara sisa-sisa peradabannya benar-benar telah membatu menjadi fosil. Maka, saat ini Islam tengah menanti minor creativity yang baru, yang dapat mengarahkan dan memimpin ummat untuk mempertahankan identitas mereka sebagai seorang muslim, sebagaimana yang dilakukan oleh generasi Shahabat untuk memunculkan sebuah kekuatan kolektif, untuk mencapai mimpi dan visi kolektif ummat.

Wallahu a’lam

Menuliskan Pemikiran Juni 9, 2008

Posted by hudzayfah in Coretan Kecil, Perjalanan Sang Waktu.
Tags: , ,
add a comment

Akan sangat disayangkan jika buah dari pemikiran panjang dan mendalam tidak sempat menyentuh sisi-sisi kolektivitas masyarakat. Apalagi, jika ia merupakan buah manis dari ide dan gagasan yang dapat menyegarkan orang banyak di tengah panas dan keringnya alam akibat tangan-tangan perusak yang tidak bertanggungjawab.

Buah pemikiran tidak sekedar ide dan gagasan sesaat yang mudah hilang. Ia juga bukanlah harapan yang hampa. Lebih dari itu, ia merupakan mimpi dan cita-cita yang menyala dalam dada yang kemudian akan menciptakan gelombang samudera saat secara luas telah menyebar memengaruhi pola pikir masyarakat secara kolektif.

Walaupun demikian, ia tidak akan bisa menjadi abadi. Bahkan mungkin terlalu rapuh dan akan mudah untuk hancur, saat ia tidak secara kontinyu disebarkan secara merata dalam setiap lapisan sosial. Meskipun realitanya ia dapat diamalkan secara nyata.

Ibn. al-Qayyim al-Jauwziyah berkata bahwa lintasan-lintasan pikiran seseorang yang kemudian mengendap akan melahirkan kehendak bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Artinya, ia akan melakukan sesuatu sesuai dengan bingkai yang telah terpajang dalam frekuensi otaknya. Sehingga saat kehendak itu hadir, maka ide, gagasan, dan pola pikirnya kembali meresap dan menjalar dalam ruang-ruang dialektikanya. Kehendak itu akan menjadi suatu yang dilakukan berulang atau dengan kata lain ia telah mengkristal menjadi sebuah kebiasaan.

Betapa pun lemahnya konsep dasar sebuah pemikiran, ia akan tetap tumbuh dan memengaruhi pola kehidupan masyarakat saat ia secara terus-menerus disebarkan secara merata serta diperluas jaringannya. Sehingga tidak ada lagi ruang yang tersisa bagi tumbuh dan berkembangnya pemikiran yang lain. Pada saat ini, lintasan-lintasan pikiran yang terbangun pun pastinya akan mengikuti apa yang telah disebarkan oleh pemikiran tadi hingga dalam tahap inilah ia akan menjadi arus bahkan gelombang sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Maka dari itu, sebuah keniscayaan bagi kita untuk menyebarkan buah pikiran kita yang lahir dari ide dan gagasan cemerlang agar kemudian orang dapat merasakan apa yang kita rasakan, serta melihat apa yang telah kita lihat, yang kemudian mereka pun dapat bergerak sebagaimana kita pun bergerak. Tidak ada kata bagi kita untuk tinggal diam.

Tidak ada sedikit pun kerugian bagi dunia karena pemikiran kita adalah buah dari perenungan seorang hamba yang sangat dekat dengan penciptanya. Maka, pada saat ia telah menyusun sebuah kerangka yang mendasari ide dan gagasannya, hal tersebut tidak dilakukan semata-mata oleh dirinya sendiri. Sang Pencipta telah membimbingnya menciptakan kesejukan bagi bumi yang tentu saja sebagaimana kesejukan yang didambakan langit. Jadi, sebarkanlah setiap helai ide dan gagasan kita, dan cara yang paling efektif untuk melakukan hal itu serta mengabadikannya adalah dengan MENULISKANNYA, sampai pada akhirnya ia akan menjadi sebuah pemikiran yang abadi.

Wallahu a’lam

Filsafat Ideologis Rabbaniy Juni 9, 2008

Posted by hudzayfah in Coretan Kecil, Perjalanan Sang Waktu.
Tags: ,
add a comment

Dalam skema alam ini, manusia mencari sebuah corak yang sesuai dengan kondisi ideal dirinya. Artinya ia akan menggapai harapan-harapan untuk menuju pada satu titik yang disebut dengan kebahagiaan. Sebuah proses pencarian hakikat kehidupan alam disebut filsafat. Jadi, dapat dikatakan bahwa pada saat manusia berhenti berfilsafat, maka pada saat itu pula kehidupan akan berhenti berputar. Setidaknya tidak akan ada lagi sebuah peradaban yang menjadi batasan ruang dan waktu tempat dimana manusia itu berfilsafat.

Proses pencarian atau pemikiran ini memiliki sebuah pijakan dasar yang akan dijadikan setiap manusia untuk mengukur segala pertanyaan dan jawaban akhir apa yang ia inginkan. Dengan kata lain, ia terikat sebuah nilai yang menjadi dasar dari segala sesuatu atau sebuah nilai ideal seseorang. Nilai idealis ini adalah keniscayaan. Ia lahir dari kehendak dan harapan, sehingga pada saat nilai itu telah menjadi bingkai individu dalam sebuah kolektif masyarakat, ia biasa disebut dengan ideologi.

Filsafat adalah sebuah proses dan ideologi adalah pijakan dasar yang digunakan oleh manusia untuk melakukan proses berfilsafat. Dari ide dan gagasan individu, manusia berusaha untuk memengaruhi suara mayoritas agar kemudian apa yang dia bawa dari ide dan gagasannya dapat diterima oleh suara mayoritas masyarakat. Pada tahap ini, berarti masyarakat telah menjadikan ide dan gagasan tadi sebagai sebuah pengetahuan sekaligus kebudayaan. Atau identitas yang ditawarkan dari ide dan gagasan individu telah berubah dan berkembang menjadi sebuah identitas kolektif dimana masyarakat kemudian menerima konsekwensi dari nilai-nilai yang dibawa individu tadi. Dengan menjadikannya identitas sekaligus mempertahankan identitasnya tersebut dari serangan ideologi lain.

Sebuah identitas kolektif yang terjaga dengan baik akan berkembang. Mereka akan terus berfilsafat untuk menemukan ilmu dan pengetahuan serta menciptakan teknologi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lebih dari itu, mereka akan membutuhkan sebuah ruang dalam satuan waktu yang akan mengorganisir sebuah kekuatan baru untuk mempertahankan identitas kolektif yang mereka bawa.

Ruang dalam satuan waktu itu adalah sebuah kompleksitas yang di dalamnya anggota masyarakat tadi dapat mengapresiasi segala ekspresi dalam sebuah keteraturan. Ia merupakan sebuah state of human social development and organization atau dalam istilah Bahasa Indonesia, ia dapat diartikan sebagai peradaban.

Jadi, peradaban lahir dari sebuah filsafat ideologis. Ia adalah ide yang muncul atas dasar nilai ideologis lalu berubah menjadi identitas kolektif yang memunculkan pengetahuan serta kebudayaan. Dari identitas kolektif ini masyarakat berkembang menemukan ilmu dan menciptakan teknologi yang pada akhirnya membutuhkan sebuah peradaban untuk menjadi semacam istana yang akan menjadi ruang sekaligus benteng bagi sebuah komunitas untuk bertahan hidup dan mencapai nilai-nilai ideologis dari identitas kolektif yang mereka miliki.

Jika kita menyepakati bahwa sebuah filsafat ideologis didasarkan atas kondisi ideal individu dan masyarakat, maka hanya ada satu idealisme yang akan membawa, baik individu ataupun masyarakat ke dalam sebuah ruang yang di sana tidak akan ditemukan kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Peradaban yang lahir dari kebutuhan itu pun merupakan peradaban yang kokoh, tidak lekang oleh zaman karena ia akan senantiasa bergerak mengikuti kehendak zaman. Bagaimana tidak? Ia lahir dari sebuah nilai yang diturunkan langsung oleh Sang Pemilik Zaman. Jadi, tidak mungkin ada sedikit pun cacat dalam peradaban yang dibangun.

Filsafat ideologis yang lahir atas dasar kehendak Sang Pemilik Zaman melalui wahyu disebut filsafat ideologis rabbaniy. Karena ia mencitrakan nilai atau sifat-sifat ketuhanan dalam proses perputaran dari ide menuju peradaban. Fase ke-rabbaniy-an dimulai sejak ide dan gagasan itu hadir. Maka, tidak ada yang lebih berhak untuk menuangkan ide kehidupan selain mereka yang telah mendapatkan kemuliaan dengan menerima wahyu langsung dari Sang Pemilik wahyu atau seorang yang kita kenal dengan sebutan rasul (utusan).

Dalam konteks Islam, Rasulullah saw. merupakan peletak batu pertama sendi-sendi kehidupan ummat. Rasulullah saw. merupakan individu yang sanggup mencitrakan nilai-nilai rabbaniy dengan sempurna hingga ketika ‘A`isyah ra. ditanya bagaimana akhlaq Rasulullah, ia ra. menjawab “Akhlaq Rasulullah adalah al-Qur’an”.

Dapat kita lihat di sini, sebuah filsafat ideologis yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah pencitraan dari nilai-nilai rabbaniy yang tercantum dalam al-Qur’an, sehingga setiap perkataan, perbuatan, dan perintahnya semata-mata adalah penjabaran dari apa yang terdapat di dalam al-Qur’an.

Begitu pun pada saat beliau saw. mendirikan sebuah state of human social development and organization di Yatsrib lalu mengubah namanya dengan Madinah al-Munawarah atau Madinah ar-Rasul. Walaupun peradaban Madinah belum mencapai pada tingkat kompleksitas yang tinggi, namun dasar-dasar nilai rabbaniy yang dikandungnya sanggup melahirkan peradaban yang lebih kompleks di Andalusia, India, Iraq, Mesir, dan Turki.

Hal ini bisa terjadi bukan karena kekuatan kolektivitas semata-mata, tapi adalah apa yang menjadi dasar dari tegaknya peradaban itu sendiri, yaitu nilai-nilai rabbaniy yang tidak boleh terpisahkan dari setiap sendi kehidupan ummat. Jika Ibn. Khaldun menyebutkan sekelompok manusia harus memiliki ashabiyah untuk mempertahankan identitas kolektifnya, maka ashabiyah seorang muslim adalah bagaimana ia tetap bisa komitmen dalam keislamannya pada setiap jengkal ruang dan waktu.

Jika dalam tubuh ummat tidak lagi tampak nilai-nilai rabbaniy, maka hal tersebut akan berakibat negatif seperti yang tampak pada beberapa abad setelah Rasulullah saw. dan para Shahabat telah tiada. Percampur-bauran nilai terjadi dan hal ini yang sebenarnya mempercepat proses keruntuhan peradaban Islam. Nilai ideologisnya lebih dahulu runtuh, lalu diikuti oleh keruntuhan state pada tahun 1924 di Turki.

Begitu pun kita yang saat ini tengah mengusung tegaknya peradaban, jika filsafat ideologis kita tidak didasarkan pada nilai-nilai rabbaniy, maka peradaban yang dilahirkan tidak akan jauh berbeda dengan apa yang dilahirkan China, Mesir Kuno, Romawi atau Yunani. Mereka besar, terlihat kuat, padahal begitu rapuh dan mudah hancur. Karena mereka membangun peradaban syahwati sedangkan peradaban yang akan kita bangun adalah peradaban berbasis nilai-nilai rabbaniy atau bisa kita sebut dengan peradaban rabbaniy.

Wallahu a’lam

Ashabiyah Juni 9, 2008

Posted by hudzayfah in Coretan Kecil, Perjalanan Sang Waktu.
Tags: ,
2 comments

Kadangkala, dalam jangka waktu yang cukup panjang, sebuah penurunan nilai dari satu generasi ke generasi selanjutnya mengalami pergeseran yang semakin hari semakin menjauh dari nilai yang dianut oleh generasi awal. Terlepas apakah nilai tersebut baik atau tidak, namun hal tersebut hampir terjadi dalam setiap aspek kehidupan. Dalam konteks ajaran agama, pergeseran nilai seperti ini biasa disebut dengan heresy (bid’ah).

Maka dari itu, Allah swt. mengirimkan Rasul-Nya di setiap masa untuk meluruskan kembali ajaran tauhid yang – secara syari’at – pertama kali dibawa oleh nabi Nuh as.. Nabi Ibrahim hadir di Mesopotamia untuk meluruskan kembali manusia yang pada saat itu telah menyimpang dari ajaran tauhid. Mereka membuat berhala dan kemudian berhala tersebut disembahnya. Nabi Ibrahim as. berda’wah dengan membawa ajaran yang termuat dalam shuhuf-shuhuf Ibrahim, namun kaumnya senantiasa mengingkari sampai akhirnya beliau as. dibakar hidup-hidup.

Walaupun demikian, ajarannya tetap dilestarikan oleh kedua puteranya yang juga menjadi rasulullah, Isma’il, yang kemudian tinggal di daerah Petra[1], dan Ishaq yang meneruskan da’wah ayahnya di Babilonia. Bani Hasyim merupakan sedikit di antara mereka yang masih memegang teguh ajaran nabi Ibrahim as. yang dibawa nabi Isma’il as.. Ajaran tersebut dikenal dengan nama millah Ibrahima hanifa (millah Ibrahim yang lurus)[2].

Begitu pun dengan nabi Musa as. yang hadir di tengah-tengah kecongkakan Fir’aun, dimana pada saat itu ia mengaku sebagai Tuhan yang wajib disembah oleh penduduk Mesir, hingga akhirnya nabi Musa as. membawa Yahudi yang telah diusir dari Babilonia menuju “tempat yang dijanjikan” ditemani oleh adiknya, Harun as.. Sikap bangsa Yahudi yang angkuh harus dilawan dengan hukum Taurat yang keras, hingga banyak di antara Yahudi yang sebenarnya tidak mau berhukum dengan Taurat. Kebanyakan dari mereka hanya takut dan sebagian lagi canggung dengan kewibawaan seorang Musa as.. Hal ini dapat kita lihat setelah nabi Musa as. meninggal, Joshua[3], penggantinya, tidak sanggup menjaga keangkuhan Yahudi yang pada akhirnya terbagi-bagi menjadi 12 suku yang bergeser dari ajaran tauhid. Mereka mengganti hukum Taurat dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Taurat, serta sebaliknya, mengharamkan apa-apa yang dihalalkan oleh Taurat, walaupun sebagian dari suku Benyamin[4] masih berpegang pada ajaran tauhid.

Pada saat demikian, lahirlah ‘Isa al-Masih ibn. Maryam as. untuk meluruskan kembali ajaran tauhid. Beliau as. hadir sebagai utusan Allah swt. untuk Bani Isra’il, namun mereka menganggap nabi ‘Isa sebagai nabi palsu karena beliau as. bukan keturunan Yahudi, atau bukan bagian dari Bani Isra’il[5]. Apalagi, kekuasaan Romawi pada saat itu memegang teguh ajaran paganisme[6], yang membuat nabi ‘Isa pada saat itu dianggap seorang teroris yang akan melakukan makar terhadap pemerintahan Romawi, hingga akhirnya beliau as. ditangkap dan disiksa di tiang salib[7]. Namun, makar Allah swt. ternyata sanggup “membutakan” mata tentara Romawi dan kaum Yahudi yang menganggap beliau as. telah wafat. Padahal, mereka tidak pernah menyalibnya atau membunuhnya[8].

Pasca “wafat”-nya nabi ‘Isa al-Masih as., seorang Yahudi penipu dari Tarsus, Saulus atau Paulus yang kemudian menjadi Paus, mendirikan agama baru di atas reruntuhan agama tauhid yang dibawa oleh nabi ‘Isa as., Nashrani, serta mengklaim agama baru ciptaannya merupakan penerus sekaligus pembaharu ajaran Nashrani yang dibawa oleh nabi ‘Isa as.. Mereka menyesatkan jutaan manusia dengan menyebarkan ajaran trinitas, kematian dan kebangkitan ‘Isa al-Masih as., dosa turunkan dan surat pengampunan dosa, serta mengubah isi Injil dengan menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Injil, serta sebaliknya, mengharamkan apa-apa yang dihalalkan oleh Injil. Paulus menamakan agamanya ini dengan Kristen[9].

Seluruh murid nabi ‘Isa as. yang masih memegang teguh ajaran tauhid dibantai. Mereka disiksa dan dihukum tanpa proses pengadilan. Namun, Allah swt. masih menjaga sebagian kecul di antara mereka, yang al-Quran menyebutnya sebagai Ashhab ul-Kahfi. Mereka yang kemudian membawa ajaran Nashrani hingga sampai pada dada seorang Waraqah ibn. Naufal, paman Siti Khadijah, ibunda muslimin sedunia. Mereka menyebarkan kabar tentang kelahiran Ahmad (rasulullah Muhammad saw.) dan menjadi bagian dari penolong agama Allah swt.. Semoga Allah swt. meridhai mereka di dunia dan di akhirat.

Setelah begitu banyaknya penyimpangan, melalui sebuah proses pembinaan mental yang dilakukan oleh Allah swt. dari masa ke masa, di antara peradaban thaghut Yunani dan Romawi, lahirlah secercah cahaya di atas cahaya yang menyinari kelamnya peradaban Arabia. Dialah rasulullah tercinta Muhammad saw.. Beliau saw. hadir untuk meluruskan ajaran tauhid yang dibawa oleh nabi Nuh as. hingga nabi ‘Isa al-Masih as.. Beliau saw. hadir untuk seluruh alam, berbeda dengan nabi dan rasul sebelumnya yang hanya diutus bagi kaum (bangsa) tertentu di tempat tertentu. Namun, perjuangan menyebarkan agama Allah swt. tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Beliau saw. dan para pengikutnya harus mengalami berbagai siksaan dan perang hingga akhirnya saat kemenangan tiba, berbondong-bondonglah manusia memeluk dien ini dengan sukarela dan tanpa paksaan.

Sebuah dien yang kaaffah kemudian ditegakkan sebagai upaya penghambaan yang sempurna kepada Allah swt.. Maka, terciptalah sebuah peradaban yang didirikan di atas “filsafat” ideologis rabbaniy[10]. Ia merupakan terjemahan dari “filsafat” al-Quran berbasis nilai-nilai rabbaniy, dan tentu saja, hanya rasulullah saw. yang berhak menerjemahkan al-Quran, dan terjemahan itu terdapat dalam sunnahnya. Atau secara sederhana, dapat dikatakan bahwa peradaban Islam adalah sebuah peradaban yang didirikan di atas nilai-nilai rabbaniy berdasarkan al-Quran dan Sunnah.

Dalam perjalanannya, Islam pun mengalami pergeseran nilai, di samping bahwa Allah telah berjanji (wa’d) untuk menjaga al-Quran dan as-Sunnah sepanjang zaman. Bentuk-bentuk heresy-pun tampak dalam kehidupan sehari-hari ummat muslim. Maka, bermunculanlah faham yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dibawa oleh generasi awal Islam, yaitu rasulullah Muhammad saw. dan para Shahabat. Dari penyimpangan ‘aqidah (Sabaiyah, Rafidhah, Ahmadiyah, Khawarij, Mu’tazilah, dll) sampai sinkretisme[11] (Kejawen, dll).

Penyimpangan nilai-nilai Islamy ini mulai muncul pasca wafatnya ‘Umar ibn. Khattab. Pada awalnya terjadi perpecahan politik yang kemudian berujung pada lahirnya dua faham besar yang menyimpang, Khawarij dan Syi’ah[12]. Kondisi seperti ini mendorong lahirnya berbagai faksi yang saling berebut kekuasaan pasca syahidnya Imam al-Husaiyn di Karbala. Apalagi, keruntuhan nilai-nilai rabbaniy sebenarnya telah tampak sejak diangkatnya Yazid oleh Mu’awiyah untuk menggantikan dirinya. Artinya, tidak ada lagi mekanisme musyawarah yang menjadi salah satu ciri dari nilai rabbaniy dan pemerintahan khas Islam, Khilafah telah bergeser menjadi theokrasi atau kerajaan atau sebagian menyebutnya Kesultanan.

Pada fase-fase selanjutnya, nilai-nilai rabbaniy semakin terkikis dan Allah swt. membuktikan kuasa-Nya dengan memberikan pelajaran bagi ummat Islam agar berbenah dengan meruntuhkan Kesultanan Turki Osmani (Ottoman) pada tahun 1923, serta berlakunya hukum sekular menggantikan hukum Islam di Turki beberapa negara “Islam” lainnya pada tahun 1924. Hal tersebut membuktikan bahwa dalam setiap generasi, penurunan nilai tidak berjalan dengan sempurna, maka Allah swt. melalui rasul-Nya menyatakan bahwa akan ada di setiap generasi (100 tahun), seorang mujtadid (pembaharu). Maksudnya adalah seorang yang akan memperbaharui nilai-nilai yang telah diturunkan tersebut agar berada di atas manhaj yang rabbaniy, sesuai dengan apa yang dibawa oleh generasi awal Islam ini berdiri.

Islam sebagai sebuah dien yang kaaffah tidak bisa dipisahkan dari peradaban yang akan dilahirkannya sekaligus akan menjadi sebuah sarana untuk beribadah secara sempurna. Bahkan, bisa dikatakan dien ul-Islam adalah peradaban Islam itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan regenerasi serta penurunan nilai, peradaban Islam yang didirikan di atas nilai-nilai rabbaniy tentu hanya akan menjadi sempurna saat nilai-nilai yang dibawanya tidak mengalami pergeseran atau masih sesuai dengan al-Quran atau as-Sunnah. Artinya, saat peradaban ini mengalami degradasi nilai, maka hal tersebut akan diikuti oleh keruntuhan tiang-tiang peradaban yang berarti runtuhnya peradaban itu sendiri. Hal ini telah dialami oleh peradaban Islam masa lalu, dimana pasca Khulafa u Rasydin memimpin telah terjadi keruntuhan nilai-nilai rabbaniy sehingga segala macam proses yang dibangun oleh generasi selanjutnya tidak memiliki tolak ukur nilai yang benar sebagaimana yang telah digariskan oleh Rasulullah saw.. Hal ini yang menyebabkan peradaban selanjutnya begitu rapuh dan akhirnya benar-benar berakhir pada masa Turki Osmani.

Menyikapi hal ini, dibutuhkan sebuah kekuatan mental untuk mempertahankan nilai tersebut menjadi identitas individu seorang muslim sekaligus identitas kolektif ummat. Ibn. Khaldun menyebutkan bahwa satu kekuatan yang akan memberikan pemahaman tentang realita sebuah identitas adalah ashabiyah. Walaupun secara sederhana ashabiyah memiliki kesamaan dengan chauvinism. Namun, para sejarawan muslim kontemporer lebih memahami makna ashabiyah sebagai kemampuan bagi sebuah komunitas untuk mempertahankan identitas dirinya sebagai kekuatan kolektif, dengan berbagai konsekwensi yang harus diterima setiap anggota dalam komunitas tersebut untuk tetap memegang teguh apa yang seharusnya menjadi identitas bersama. Dengan ini, menurut Ibn. Khaldun, sebuah komunitas akan bertahan dan bahkan dapat menjadi trend setter peradaban dunia.

Kini, permasalahannya kembali kepada diri kita sendiri sebagai seorang individu muslim sekaligus sebagai bagian kolektif yang tidak terpisahkan dari tubuh ummat. Akan ada konsekwensi saat kita mempertahankan nilai-nilai rabbaniy untuk tidak bergeser sedikit pun dari apa yang telah digariskan oleh Allah swt. dan rasul-Nya. Hal ini yang akan kita senantiasa tampakkan dalam setiap jengkal kehidupan kita, di manapun dan kapanpun kita berada.

Ashabiyah Islamiyah dalam pengertian di atas harus tertanam, bahkan menghujam di dalam relung hati yang terdalam. Kita harus menyadari dan meyakini bahwa ini adalah konsekwensi dari kata Laa ilaaha illa Allah, Muhammad ar-Rasulullah. Bahwa saat kita mengucapkannya berarti kita telah berikrar, bersumpah dan berjanji setia untuk ta’at dan patuh terhadap aturan Allah dan rasul-Nya. Tidak ada lagi cinta di atas kecintaan terhadap Allah dan rasul-Nya, tidak ada lagi rindu sebesar kerinduan terhadap Allah dan rasul-Nya. Tidak ada lagi aktivitas yang tertuju kepada selain Allah dan rasul-Nya, serta tiada lagi harapan, sandaran, serta kehendak di luar apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Ini adalah konsekwensi. Konsekwensi untuk mempertahankan nilai, demi tegaknya sebuah peradaban Islam sebagai rahmatan lil-’alamin. Akan ada keringat, bahkan darah tercucur, namun itulah pengorbanan. Akan ada harta dan jiwa yang melayang. Namun, apalah artinya semua itu dibandingkan kenikmatan berjumpa dengan Allah swt. dan rasul-Nya di syurga?!

Wallahu a’lam


[1] Petra disebutkan oleh Perjanjian Baru sebagai tempat dimana suku Kedar berada, yaitu tempat munculnya pasukan unta yang membawa cahaya. Saat rasulullah Muhammad saw. dilahirkan, wilayah Petra dikenal dengan nama Hijjaz

[2] Kata “millah” dapat disinonimkan dengan kata “dien”, walaupun dalam kompleksitas-nya akan terlihat berbeda

[3] Pada awalnya, nabi Harun as. dipersiapkan untuk menggantikan nabi Musa as., namun ia as. menemui Rabbnya terlebih dahulu sehingga kepemimpinan ummat diserahkan kepada Joshua pasca wafatnya nabi Musa as.

[4] Salah satu nama dari 12 suku Yahudi adalah Benyamin. Suku-suku tersebut dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yaitu Bani Israil atau Bani Ya’qub (Israil merupakan gelar bagi nabi Ya’qub) yang merupakan 12 saudara nabi Yusuf ibn. nabi Ya’qub as.

[5] Nabi ‘Isa as. merupakan Bani Ibrahim. Beliau as. keturunan nabi Ibrahim as. dari nabi Ishaq as.

[6] Penyembah berhala

[7] Salib berasal dari kata “sulbi”, artinya menyiksa hingga menghancurkan tulang sulbi pada tiang salib

[8] Sebagian ulama berpendapat, wajah nabi Isa diserupakan dengan yang lain, sehingga nabi ‘Isa as. tidak pernah ditangkap atau disiksa. Sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa kematiannya yang diserupakan, sedangkan yang ditangkap dan disiksa adalah nabi ‘Isa as., wallahu a’lam

[9] Berasal dari kata “Christ”, dinisbatkan pada nabi ‘Isa as. yang mereka yakini sebagai juru selamat atau christus hingga kita kenal sekarang sebutan Jesus Christus atau ‘Isa Sang Juru Selamat.

[10] Filsafat merupakan proses berfikir. Sedangkan peradaban Islam bukanlah hasil dari pemikiran manusia. Ia adalah hasil “pemikiran” Rasulullah saw. di atas keniscayaan wahyu Allah swt.

[11] Pencampurbauran antara kebudayaan setempat dengan agama

[12] Khawarij muncul pada masa pemerintahan Khalifah ‘Ali ibn. Abi Thalib kw., sedangkan Syi’ah mulai menyimpang pasca syahidnya Imam al-Husaiyn di Karbala