jump to navigation

Seni Itu Bernama Historiografi Juni 17, 2008

Posted by hudzayfah in Sejarah.
Tags: , , ,
add a comment

Seni merupakan satu hal yang amat dekat hubungannya dengan keindahan, khayalan, dan fantasi. Sedangkan historiografi berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, ia berisi sebuah kajian teoritis, metode, dan perangkat lainnya yang begitu ajeg dan statis. Berbeda dengan itu, seni akan sangat dinamis, bergerak mengikuti perjalanan budayanya, dalam ruang-ruang pergulatan panjang peradaban tempat ia dilahirkan.

Dalam KBBI edisi III, seni diartikan sebagai.

1. Keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dsb.);

2. Karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti tari, lukisan, ukiran;

Dalam kamus yang sama juga disebutkan istilah seni sastra yang berarti seni mengenai karang-mengarang (prosa dan puisi). Dalam pengertian yang lain, seni juga diartikan sebagai kemampuan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi (luar biasa).

Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa secara sederhana seni dapat diartikan sebagai hasil karya cipta yang bernilai tinggi atau luar biasa, dilihat dari aspek kehalusan atau keindahannya. Maka, tidak salah jika saya menyebutkan bahwa Sang Khaliq adalah seniman sejati. Dia yang menciptakan alam ini dengan penuh kelembutan cinta dan keindahan kasih sayang.

Berbeda dengan itu, dalam KBBI yang sama, historiografi diartikan sebagai penulisan sejarah. Lalu, apa hubungan antara sebuah tulisan sejarah dengan seni?

Sejarah sebagai sebuah ilmu pengetahuan memang menuntut teori-teori empiris yang akan mendukung validitas data yang kemudian akan diuraikan dalam sebuah kisah sejarah. Namun, di samping bersifat ilmiah dalam ruang metode dan penelitiannya, sejarah akan terasa hambar jika para penelitinya tidak memiliki intelektualitas seni yang mendalam. Seorang peneliti sejarah harus sanggup menjelajahi ruang-ruang khayal yang akan mengajak dirinya berfantasi memasuki sebuah perjalanan waktu pada masa lampau yang tidak mungkin akan pernah terulang atau kembali. Jika tidak dengan intelektualitas seni yang dimiliki, maka dengan apa ia akan terbang menjelajahi ruang-ruang khayal tersebut?!

Setelah melakukan sebuah proses penelitian yang benar sebagaimana kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam metode sejarah, maka berapa banyak orang yang bersedia menyantap hidangan sejarah – yang sebetulnya akan sangat bermanfaat itu – jika tidak disertai bumbu-bumbu yang akan membuat orang-orang tidak hanya sekedar mau menyantap hidangan yang telah disediakan oleh para peneliti tadi, namun lebih dari itu, mereka sanggup menyantapnya dengan lahap dikarenakan racikan bumbu istimewa yang membuat hidangan itu tidak sekedar serasa sedap dipandang mata, namun juga renyah di lidah sehingga ia sanggup diserap dan merasuk serta meresap ke dalam lubuk pemikiran mereka yang terdalam. Pada titik ini, tidaklah salah jika kemudian para sejarawan mendefinisikan historiografi sebagai art of writing (seni menulis).

Jika demikian, bukankah hal tersebut akan menghapus, atau setidaknya mengurangi nilai ilmiah yang dikandung oleh sejarah sebagai ilmu pengetahuan?

Untuk menjawab hal ini, maka perlu diluruskan terlebih dahulu sebuah pemahaman tentang intelektualitas seni yang dimiliki oleh seorang sejarawan dengan intelektualitas seni yang dimiliki oleh seorang sastrawan. Jika pun kita mengategorikan historiografi sebagai karya seni sastra (merujuk pada pengertian seni sastra menurut KBBI), maka hal tersebut hanya terbatas pada keindahan rangkaian kata yang disusun oleh seorang sejarawan dalam rangka membuat sebuah kisah yang dapat dinikmati berbagai kalangan dengan penuh unsur seni di dalamnya. Sedangkan untuk content yang terkandung di dalamnya harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam metode penelitian sejarah.

Daya imaji yang ditawarkan sastrawan tidak terbatas ruang dan waktu. Ia bebas menjelajah menembus batas-batas khayali lalu kemudian ia membiarkan tangannya menuliskan sebuah kisah fantasi tersebut dalam alur yang diciptakannya sendiri. Sedangkan imajinasi yang diharapkan dalam historiografi adalah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu menjelajahi ruang-ruang khayal yang akan mengajak dirinya berfantasi memasuki sebuah perjalanan waktu pada masa lampau yang tidak mungkin akan pernah terulang atau kembali. Maksudnya adalah ia “kembali” ke masa lalu, ke dalam sebuah alur yang telah ia temukan sebagai fakta sejarah untuk kemudian menuliskan segala peristiwa yang ia alami di alam khayalnya tersebut ke dalam sebuah kisah sejarah atau historiografi.

Maka dari itu, seorang sejarawan tidak bisa dengan daya khayalnya menciptakan sebuah peristiwa yang tidak pernah ditemukan fakta tentangnya. Begitu pula dengan legenda, mitos, atau sastra (dalam hal ini kisah-kisah yang tidak pernah ditemukan fakta sejarahnya) yang seringkali akan mengacaukan peristiwa sejarah sebagai ilmu pengetahuan yang tidak bisa dilepaskan dari teori-teori empiris. Seorang sejarawan harus bisa memilah dan memilih kisah mana yang dapat diterima sebagai fakta dan kisah mana yang merupakan mitos belaka. Sehingga karya seni sastra sejarah yang dilahirkannya adalah karya seni tentang sebuah fakta, bukan karya seni tentang sebuah dongeng ataupun fantasi belaka.

Wallahu a’lam