jump to navigation

ath-Thibb an-Nabawi (8) Februari 15, 2009

Posted by hudzayfah in Metode Pengobatan Nabi saw..
Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , ,
add a comment

ISLAM HANYA MENGHARAMKAN YANG BURUK

Allah swt. dengan gamblang telah menunjukkan zat apa saja yang telah diharamkanNya. FirmanNya.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 173)

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Maa’idah, 5: 3)

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor (rijsun) – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’aam, 6: 145)

“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik (thayyib) dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khabaa’its) dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (QS. Al-A’raaf, 7: 147)

Segala sesuatu itu dihalalkan sebelum ada dalil yang melarangnya, baik larangan itu berupa larangan haram atau makruh. Para ‘ulama salaf ash-shalih pun telah bersepakat bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah swt. adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nash yang sah dan tegas dari syari’ (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan RasulNya) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nash yang sah –misalnya karena ada sebagian hadits lemah– atau tidak ada nash yang tegas (sharih) yang menunjukkan bahwa hal tersebut haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.

Dengan demikian, kita telah mendapatkan batasan yang sangat jelas dan tegas dari beberapa ayat di atas. Allah swt. hanya mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Keempat hal yang disebutkan dalam ayat tersebut mutlak diharamkan secara syari’at. Dalil ini sekaligus menjadi ‘illat diharamkanNya zat yang disebutkan. Artinya, tidak ada yang bisa menghalalkan keempat zat tersebut, kecuali ada dalil lain yang menggugurkan dalil ini. Misalnya adalah halalnya sesuatu yang haram dalam kondisi darurat, sebagaimana kaidah fiqh “al-masyaqqah tajlibu at-taysiir” (kesukaran itu menarik adanya kemudahan) serta kaidah “adh-dharuratu tubiihu al-mahdzhuraat” (darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang. Maka, keempat zat yang telah disebutkan tersebut bisa dimakan jika terpenuhi syarat yang menghalalkannya, yaitu kondisi yang darurat.

Kondisi darurat adalah kondisi dimana manusia berada pada keadaan yang menjadi batas antara kehidupan dengan kematian. Kondisi darurat adalah kondisi kelaparan yang amat sangat yang jika tidak memakan sedikitpun, maka diprediksikan kematian akan merenggutnya. Jika keadaan lapar yang dialami masih sanggup ditahan untuk beberapa saat, maka diharuskan untuk menahan rasa lapar tersebut sambil juga berusaha mencari zat yang halal. Jika pada titik darurat tidak ditemukan zat yang halal, maka kita boleh memakan sesuatu yang pada awalnya diharamkan oleh Allah swt., tentunya dengan diiringi istighfar dan taubat kepada Allah swt..

Sedangkan pada ayat yang lain, Allah swt. menambahkannya dengan sifat yang terkandung di dalam zatnya, yaitu karena sesungguhnya semua itu kotor (rijsun), pada QS. Al-An’aam, 6: 145 dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khabaa’its) pada QS. Al-A’raaf, 7: 147. Hal ini menunjukkan suatu perkara yang umum, yang juga berarti bahwa selain keempat hal tadi, ada sesuatu yang secara tersurat tidak disebutkan langsung, namun Allah swt. hanya menyebutkan sifat-sifatnya saja yang kemudian menjadikan sesuatu itu haram karena sifatnya tersebut, yaitu rijsun dan khabaa’its. Konsekwensi dari hal tersebut adalah haramnya seluruh zat yang rijsun dan khabaa’its, baik secara dzati ataupun ma’nawi. Maka, haramlah anjing dan kotoran, yang walaupun tidak disebutkan oleh Allah swt. secara langsung, namun keduanya diharamkan karena ada dalil umum yang berlaku terhadap keduanya, yaitu bahwa keduanya kotor dan najis (rijsun dan khabaa’its). Maka, haram pula segala makanan yang berasal dari sumber yang haram, seperti hasil curian, menipu, riba’, korupsi, dan sebagainya. Begitu pun dengan haramnya segala macam makanan yang disembelih atau diproduksi oleh orang-orang kafir, termasuk di dalamnya kaum Rafidhah atau Ahmadiyah yang jelas-jelas telah murtad dari Islam.

Begitu pun dengan daging manusia. Tentu saja tidak ada toleransi bagi yang mengonsumsi daging manusia kecuali hukuman yang setimpal. Karena memakan daging mayat sama saja dengan membunuhnya. Hal ini disebabkan bahwa seorang yang meninggal masih bisa merasakan sakitnya saat tubuh mayat tersebut tersentuh atau terlukai. Apalagai jika tubuh tersebut sampai dimasak terlebih dahulu lalu dihidangkan menjadi sajian makan malam. Na’udzu billah.

Dari pemaparan tersebut dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa ternyata apa-apa yang diharamkan oleh Allah swt. telah disebutkan secara rinci, sebagaimana firmanNya.

“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (QS. Al-An’aam, 6: 119)

Sedangkan segala sesuatu yang dihalalkannya tidak disebutkan dengan rinci, karena memang jumlahnya yang lebih banyak jika dibandingkan dengan sesuatu yang haram. Namun, penjagaan kita terhadap segala makanan dan minuman harus tetap diperhatikan, karena jangan sampai kita terlena dengan banyaknya sesuatu yang dihalalkan sehingga kita lupa batasan-batasan yang sebenarnya. Apalagi, saat ini, ternyata sifat-sifat umum tadi telah banyak melekat pada makanan ataupun minuman yang beredar di pasaran. Kita harus berhati-hati terhadap makanan olahan yang bisa saja tercampur dengan sesuatu zat yang diharamkanNya, karena walaupun yang dicampurkannya itu sangat sedikit, yang haram tetaplah haram. Sabda Rasulullah saw., “Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya (pun) haram.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudzi). Jadi suatu zat yang haram, tidaklah dipengaruhi oleh sedikit banyaknya jumlah zat tersebut. Jika yang haram itu bentuknya cair, maka satu tetes pun sudah pasti haram. Jika yang haram itu berupa makanan ringan, maka saat kita mengambil setengah saja dari makanan tersebut, tetaplah yang setengah itu adalah zat yang haram.

Selain itu, saat ini, di tengah perkembangan teknologi yang semakin maju, banyak sekali bahan-bahan yang rijsun ataupun khabaa’its yang dicampurkan ke dalam makanan, seperti bahan-bahan kimia sintetis sebagai pengawet, perasa atau pewarna makanan yang sangat berbahaya bagi tubuh kita, atau suplemen-suplemen yang tidak dibuat dari bahan-bahan yang alami sehingga membuat tubuh kita mengalami kerusakan sedikit demi sedikit tanpa kita sadari. Tentu saja makanan atau minuman seperti itu diharamkan oleh Allah swt..

Dibalik larangan Allah swt. terhadap beberapa jenis makanan tertentu, kita bisa mendapatkan beberapa hikmah di dalamnya.

Hikmah Diharamkannya Bangkai

\al-QURAN\5\5_3.GIF

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.” (QS. Al-Maa`idah, 5: 3)

\al-QURAN\6\6_145.GIF

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor (rijsun) – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’aam, 6: 145)

Dalam ayat di atas sudah jelas bahwa bangkai merupakan salah satu zat yang diharamkan secara dzhahir oleh Allah swt. disebabkan sifat-sifat yang terkandung di dalamnya. Bangkai yang dimaksud oleh ayat di atas adalah binatang yang tidak disembelih, yang mati dengan sendirinya (penyakit, sudah tua); atau karena suatu kecelakaan (dicekik, jatuh, dan sebagainya).

Binatang yang tidak disembelih memiliki sifat rijsun (kotor) sekaligus khabaa’its (buruk). Hal ini diebabkan bahwa darah binatang tersebut tidak dikeluarkan sehingga mengendap dan menempel pada daging. Darah ini mengandung banyak bakteri dan kuman yang akan mengakibatkan berbagai macam penyakit, bahkan kematian. Bakteri yang hidup dalam bangkai di antaranya bakteri Coliform, Protis, Mezantarkes, Micrococcus Albash, dan yang lainnya.

Bakteri-bakteri tersebut bisa membentuk zat beracun yang berwarna-warni sehingga biasanya bangkai binatang berwarna hijau gelap dan membuat orang yang melihatnya hilang selera makan. Gas yang terbentuk dari penguraian bakteri-bakteri tersebut juga meninggalkan bau yang tidak sedap. Dagingnya biasanya lebih lembek dibandingkan binatang yang dipotong. Sehingga jika pun ada orang yang berusaha untuk menghilangkan gejala-gejala tadi dengan memasaknya dalam suhu yang cukup tinggi dengan asumsi dapat membunuh bakteri, maka tetap saja dagingnya sudah tidak layak untuk disantap sebagai makanan manusia. Selain itu, jika saja benar-benar bahwa daging tersebut telah bebas dari bakteri, warna dan baunya pun dibuat sedemikian rupa sehingga tidak lagi terlihat buruk, namun zat yang terkandung di dalam dagingnya telah mengalami perubahan dan kualitasnya telah jauh menurun yang pada saat dikonsumsi justru akan merusak kesehatan. Semua itu berlaku untuk semua kasus kematian binatang yang tidak disembelih. Maka, tidak ada alasan lagi untuk memakan bangkai jika kita telah memahami ini semua.

Hikmah Diharamkannya Darah

\al-QURAN\5\5_3.GIF

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.” (QS. Al-Maa`idah, 5: 3)

Darah merupakan suatu jaringan tubuh yang terdapat di dalam pembuluh darah yang warnanya merah. Warna merahnya tidak tetap, bergantung pada banyaknya O2 dan CO2. Darah yang mengandung banyak CO2 berwarna merah tua. Secara umum, darah terdiri dari cairan plasma dan sel-sel hidup yang berenang dalam cairan ini. Sel-sel tersebut adalah Eritrosit (sel darah merah), Leukosit (sel darah putih); berfungsi untuk mempertahankan tubuh dari serangan bakteri dan kuman agar tidak masuk ke dalam darah, dan Trombosit (keping darah) yang berperan penting dalam proses pembekuan darah.

Sebagai bagian dari jaringan yang membentuk makhluk hidup, darah berfungsi sebagai:

1) Alat pengangkut:

i. Mengambil O2 dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh.

ii. Mengangkut CO2 dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru-paru.

iii. Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan ke seluruh tubuh.

iv. Mengangkut zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh untuk dikeluarkan melalui kulit dan ginjal.

2) Pertahanan tubuh terhadap serangan kuman atau racun yang akan membinasakan tubuh dengan perantara leukosit, antibodi/ zat-zat antiracun.

3) Menyebarkan panas ke seluruh tubuh.

Darah yang keluar pada saat tubuh terluka akan segera membeku dan membentuk gumpalan. Gumpalan ini adalah jaringan putih telur yang bernama fibrin yang dikelilingi butiran-butiran darah. Di bagian bawah darah yang beku tadi terdapat cairan (zat kuning) yang warnanya bening. Cairan tersebut disebut serum darah. Darah yang telah keluar dari tubuh akan terpisah dari pembuluh darah yang melindunginya. Sementara itu, butir-butir darah putih kehilangan fungsinya. Maka, sisa-sisa zat makanan serta segala macam zat yang terkandung di dalam darah akan diserang oleh berbagai macam kuman. Hal ini dikarenakan zat-zat tersebut merupakan makanan bagi kuman.

Akhirnya, darah yang keluar dari tubuh semakin mengandung banyak zat-zat berbahaya yang harus dijauhi. Racun-racun yang terkandung di dalamnya tetap akan memberi pengaruh walaupun darah telah dimasak dan dipanaskan. Jadi, darah yang mengandung zat-zat sisa metabolisme tentu saja kotor dan berbahaya sehingga tidak patut untuk dikonsumsi. Adapun kandungan gizi di dalam darah sangat kecil (hanya 8 % saja, dengan perincian Albumin 4%, Globulin 3,5%, dan Fibrinogen 0,5 %) sehingga tidak bisa dijadikan alasan bagi seseorang untuk mengonsumsi darah.

Hikmah Diharamkannya Babi

5_4

“Mereka bertanya kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah, ‘Dihalalkan bagimu yang thayyibaat’…” (QS. Al-Maa’idah, 5: 4)

Babi merupakan binatang yang kotor dan mengandung banyak bakteri sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit bagi orang-orang yang mengonsumsinya. Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian bahwa babi mengandung banyak kuman atau bakteri yang berbahaya. Di antaranya adalah cacing pita yang dapat menyebabkan penyakit taenia solium. Telur cacing pita yang masuk ke dalam tubuh juga akan menghisap zat-zat makanan di dalam tubuh pasien, sehingga tubuh pasien akan semakin lemah. Gejala yang ditimbulkan dari penyakit ini adalah mual, diare, kelemahan mata, bahkan hingga menurunnya fungsi saraf.

Babi juga mengandung cacing trachena sp yang dapat menyebabkan penyakit trachena. Cacing ini biasanya berkumpul pada otot bisep sehingga menyebabkan peradangan otot yang sangat menyakitkan. Penyerangan cacing ini juga menyebabkan demam yang cukup tinggi dengan diiringi gejala lain seperti diare dan sesak nafas.

Dr. dr. Muhammad Washfi menyebutkan dari majalah kesehatan Amerika bahwa pada otot babi yang masih sehat terdapat bakteri pembusuk. Bakteri ini juga masih ada saat babi telah disembelih. Bakteri balantidium coli juga terdapat dalam daging babi dan dapat menyebabkan desentri.

Daging babi juga menjadi medium yang sangat baik untuk menyebarkan bakteri tifus, sehingga seorang yang mengonsumsi daging babi akan lebih mudah diserang bakteri ini. Selain itu, lemak babi juga merupakan zat yang sulit dicerna oleh tubuh, sehingga keberadaannya justru akan merusak proses metabolisme yang sedang berlangsung.

Lalu, bagaimana jika ada seorang yang berkata bahwa ia telah berhasil membersihkan daging babi dari berbagai kotoran dan penyakit. Ia pun telah berhasil mengolahnya sehingga mudah dicerna oleh tubuh..?

Ada sebuah kisah yang menarik. Seorang Perancis berkata kepada seorang ‘ulama di Mesir bahwa pengharaman babi pada saat ini sudah tidak relevan lagi karena di negaranya babi ditempatkan pada kandang yang sangat bersih dan steril sehingga tidak memungkinkan adanya kuman ataupun bakteri yang mengindap di dalam tubuh babi. Di sana babi dirawat dengan teknologi tinggi yang senantiasa menjaga kondisi kesehatan babi-babi yang diternak.

Namun, ‘ulama tadi tidak menjawab pertanyaan tersebut dengan sebuah pernyataan. Ia kemudian menyuruh seseorang untuk mengambil dua ekor babi jantan dan seekor babi betina lalu menempatkannya dalam satu kandang. Ia juga menyuruh seseorang untuk mengambil dua ekor ayam jantan dan satu ekor ayam betina lalu ditempatkan dalam satu kandang. Ia kemudian berkata kepada seorang Perancis tadi untuk melihatnya.

Apa yang terjadi sungguh di luar jangkauan akal manusia. Dua ekor ayam jantan terlihat saling bertarung demi mendapatkan seekor ayam betina. Mereka bertarung sampai mati untuk membuktikan siapa yang paling jantan. Lain halnya dengan babi, dua ekor babi jantan tadi bersama-sama menggauli seekor babi betina, dan setelah itu, dua babi jantan tadi melakukan hubungan homoseksual. Na’udzu billah

Itulah mungkin pelajaran yang paling berharga yang dapat kita petik, namun terlepas dari berbagai macam hikmah yang ada di balik diterapkannya syari’at, namun perlu ditegaskan di sini bahwa ‘illat dari diturunkannya syari’at tersebut bukanlah semata-mata karena hikmah yang terkandung di dalamnya. Namun, ketaatan kita terhadap syari’at Allah semata-mata hanya untuk mengharapkan syurga dan ridhaNya sebagai sebuah upaya menyempurnakan ibadah kita.

Hikmah Diharamkannya Khamr

Allah swt. berfirman dalam al-Quran.

5_90.GIF5_91.GIF

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maa’idah, 5: 90-91)

Rasulullah saw. pernah bersabda,

“Jibril pernah mendatangiku dan berkata, ”Wahai Muhammad sesungguhnya Allah swt. telah melaknat khamr, hasil perahan, pemerah, peminum, pengangkut, alat angkut, penjual, barang dagangannya, penikmat, dan yang dinikmatinya.” (HR. Ahmad dan Ibn Hibban)

Sabdanya pula,

“Janganlah kalian meminum khamr, karena khamr adalah kunci bagi segala keburukan.” (HR. Ibn Majah).

Khamr adalah minuman fermentasi yang beralkohol dan memabukkan. Secara bahasa khamar berasal dari kata khamara yang artinya menghilangkan atau menutupi. Maksudnya adalah menutupi akal atau menghilangkan pikiran yang meminumnya. Khamr juga berasal dari kata takhammara yang artinya meragi, atau tukhammiru yang artinya mengacaukan, maksudnya mengacaukan akal.

Unsur utama khamr adalah alkohol dan dinamakan juga alkuhul, alkuhl, atau alku’ul. Alkohol terdiri dari beberapa jenis, di antaranya metanol (CH3), etanol (C2H5), propanol (C3H7), butanol (C4H9), pentanol (C5H11), heksanol (C6H14), dan beberapa jenis lainnya. Jenis yang paling banyak digunakan dalam khamr adalah etanol. Etanol juga adalah jenis alkohol yang dipergunakan untuk minuman keras lainnya. Sehingga pada saat kita mendengar istilah minuman beralkohol, maka yang dimaksudkan adalah minuman alkohol berjenis etanol.

Alkohol yang terkandung di dalam khamr, jika tidak dicampur dengan zat yang lain, langsung diserap dari lambung ke usus, pada saat telah masuk ke dalam tubuh peminumnya. Lalu alkohol pindah ke sistem peredaran darah dan diteruskan ke sistem saraf. Kemudian alkohol pun larut dalam sistem saraf dan melemahkannya. Kondisi seperti ini akan menyebabkan disfungsi dari beberapa organ tubuh yang bisa mengakibatkan penyakit gila atau bahkan kematian.

Akibat dari rusaknya saraf yang lain adalah banyaknya tindakan kriminal. Hal ini disebabkan pola pikir para peminum biasanya di luar akal sehat manusia biasa, emosinya mudah terguncang, dan sangat sensitif, sehingga memungkinkan untuk membuka jalan ke arah pertikaian, pembunuhan, pemerkosaan, dan aksi kriminal lainnya. Termasuk pada saat tubuh mereka meminta tambahan khamr karena ketagihan, namun mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya, maka pencurian dan perampokan pun bisa terjadi.

Tentu saja kita tidak menginginkan generasi muda kita mengalami berbagai kerusakan moral seperti yang telah disebutkan di atas. Maka, cegahlah para pemuda, khususnya, dari meminum alkohol atau barang-barang haram yang sejenisnya untuk menyelamatkan ummat di dunia dan di akhirat.

Alkohol juga merangsang selaput lendir lambung dan mengubah getahnya. Hal tersebut membantu mengeluarkan zat asam yang berlebih, menghalangi cairan yang dikeluarkan lambung, dan menyebabkan kelemahan pada kelenjar-kelenjar lambung. Kondisi seperti ini tentu saja membuat lambung meradang dan proses pencernaan di dalam tubuh akhirnya tidak berjalan dengan baik.

Selain itu, khamr juga menyebabkan melebarnya pembuluh-pembuluh darah yang ada di permukaan tubuh dengan signifikan, sedangkan darah yang ada di dalam tubuh mengalami penyumbatan karena terjadi pengerutan (kontriksi). Akibatnya sirkulasi darah menjadi kacau.

Walaupun demikian, bukan berarti saat semua kelemahan ataupun sifat-sifat buruk yang terdapat pada semua zat tersebut dihilangkan, maka secara otomatis semuanya dapat dihalalkan. Tidak demikian. Alasan yang pertama dan paling utama atas pengharaman zat-zat tersebut bukan karena unsur negatif yang ada di dalamnya tetapi karena Allah swt. dan Rasul-Nya saw. melarang hal tersebut. Sesungguhnya Allah swt. mengharamkan sesuatu untuk menguji manusia mana yang taat dan mana yang ingkar. Mereka yang taat tentu akan mendapatkan rahmat dan berkah dariNya, sedangkan bagi mereka tentulah kita sadari bahwa azab Allah sangat pedih.

Wallahu a’lam…

Ath-Thibb An-Nabawi (5) Januari 27, 2009

Posted by hudzayfah in Metode Pengobatan Nabi saw..
Tags: , , , ,
add a comment

KEBERSIHAN DAN KESUCIAN (THAHARAH)

URGENSI THAHARAH

Hampir dalam setiap kitab fiqh, para fuqaha selalu menyimpan pembahasan thaharah sebagai sesuatu yang dibahas di awal BAB. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kebersihan atau kesucian dalam Islam. Selain dapat menjaga ummatnya dari berbagai penyakit, thaharah dalam Islam juga berperan sebagai syarat dari sahnya sebuah peribadahan. Seseorang tidak dapat beribadah saat ia memiliki hadats. Ia pun tidak dapat beribadah saat pakaian atau tempat yang akan dilaksanakannya peribadahan terkena najis. Karena urgensinya dalam menegakkan tiang-tiang diin ini, Rasulullah saw. bersabda tentang thaharah, “Ath-Thahuur (suci) itu sebagian daripada Iman.” Dalam al-Quran, Allah swt. menegaskan betapa pentingnya thaharah dalam Islam. Allah swt. berfirman.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah, 2: 222)

“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al-Muddatstsir, 74: 4)

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams, 91: 9-10)

Allah juga berfirman tentang kewajiban berwudhu untuk membersihkan hadats kecil serta mandi untuk membersihkan hadats besar. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka bersucilah.” (QS. Al-Maa’idah, 5: 6)

Artinya, tidak akan diterima setiap ibadah yang kita lakukan jika tidak dilakukan dalam kondisi badan yang suci dan bersih. Begitulah Islam mengajarkan sebuah sikap yang sangat menjaga kebersihan dan kesucian. Rasulullah, dalam sabdanya yang lain memberikan gambaran bahwa Allah swt. hanya menyukai yang baik-baik. “Sesungguhnya Allah itu thayyib dan tidak menerima sesuatu kecuali yang thayyib.” Sebagaimana sabdanya juga “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.”

Kebersihan dan kesucian adalah hal yang thayyib yang akan menjadi syarat diterimanya segala sesuatu. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi setiap mu’min untuk tidak menjaga kebersihan dan kesucian diri dan lingkungannya. Jika seorang mu’min tidak peduli terhadap kondisi lingkungannya, maka tentulah imannya belum sempurna sebagaimana seorang yang sedang shalat yang kemudian melupakan salah satu dari rukun shalat. Sudah tentu shalatnya tidak diterima. Jangan sampai, keimanan kita tidak diterima oleh Allah swt. dikarenakan kita lalai dalam menjaga kebersihan dan kesucian, baik diri maupun lingkungan kita.

AIR

Air merupakan alat penyuci yang utama dalam thaharah. Syari’at telah menetapkan bahwa selama masih ada air, maka hendaklah kita tidak menggunakan alat yang lain. Karenanya, kita perlu mengetahui jenis air apa saja yang boleh digunakan sebagai penyuci.

Macam-Macam Air

H. Sulaiman Rasjid menyebutkan dalam Fiqh Islam bahwa air, dalam pandangan syari’at terdiri atas beberapa jenis, yaitu.

1. Air yang suci dan menyucikan

Air jenis ini halal untuk diminum serta dapat digunakan untuk bersuci membersihkan hadats dan najis. Air jenis ini adalah seluruh air yang turun dari langit atau keluar dari bumi yang masih tetap keadaannya, seperti air hujan, air laut, air sumur, air es yang mencari (salju yang mencari), air embun, air yang bercampur dengan sesuatu yang suci dan air yang keluar dari mata air. Firman Allah swt.

“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu air dari langit untuk menyucikan kamu dengannya dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaithan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu).” (QS. Al-Anfaal, 8: 11)

Sabda Rasulullah saw. Dari Abu Hurayrah. Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw. tentang laut. “Air laut itu suci dan menyucikan. Bangkainya halal dimakan.” (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i, Ibn Majah, dan Ibn Abi Syaybah, di Shahih-kan oleh Ibn Khuzaymah dan Turmudzi).

Dengan demikian, kita bisa menggunakan jenis air yang sebagaimana disebutkan sebagai penyuci ataupun air minum. Namun, khusus untuk air yang akan dikonsumsi, hendaknya dilakukan uji coba terlebih dahulu untuk mengukur kadar thayyiban-nya. Yaitu ujicoba persentase kandungan mikroba serta mineral dan logam di dalamnya.

2. Air suci, tapi tidak menyucikan

Air dapat berubah hukumnya menjadi tidak menyucikan. Perubahan itu meliputi perubahan sifatnya yang meliputi warna, rasa, dan bau. Jika salah satunya berubah, maka dapat dipastikan bahwa air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci, walaupun bisa saja kandungan secara dzati masih suci dan halal dikonsumsi. Termasuk jenis air seperti ini adalah.

a) Air yang telah berubah salah satu sifatnya dengan sebab bercampur dengan suatu benda suci seperti air kopi, teh, dan sejenisnya.

b) Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon kayu, air kelapa, dan sejenisnya.

c) Air yang kurang dari dua qullah. Walaupun demikian, jika kemutlakannya masih terpelihara, yaitu terjaga warna, rasa, dan baunya, maka menurut Ust. Sayyid Sabiq masih tetap menyucikan. Begitu pun untuk jenis air yang ketiga. ‘Ulama yang mengategorikan air dua qullah sebagai air suci yang tidak menyucikan berpegang pada riwayat ‘Abdullah ibn ‘Umar. Beliau berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Apabila air itu dua qullah, maka ia tidak akan mengandung kotoran”. Dalam riwayat yang lain disebutkan “tidak akan menjadi najis”. (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i, Ibn Majah, dan Ibn Abi Syaybah, di shahih-kan oleh Ibn Khuzaymah dan Turmudzi).

Mereka menafsirkan bahwa air yang kurang dari dua qullah tidak memenuhi syarat yang disebut dalam hadits tersebut, sehingga tidak bisa digunakan untuk bersuci. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan air dua qullah..? Menurut madzhab Syafi’i, yang dimaksudkan air dua qullah adalah air yang memenuhi satu tempat yang lebar, panjang, dan dalamnya masing-masing satu seperempat hasta (+/- 60 cm).

Sedangkan fuqaha yang lain berpegang pada pendapat bahwa selama air tersebut belum berubah warna, rasa, atau baunya, maka ia masih boleh digunakan sebagai penyuci. Hal ini dikarenakan bahwa tidak ada satu hadits pun yang menetapkan ukuran dua qullah dengan satu seperempat hasta atau lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Ibn Hajjar al-Atsqalani serta beberapa ‘ulama lainnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Bayhaqi dari Abi Umamah al-Bahili. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Air itu tidak bisa dinajiskan oleh apapun, kecuali oleh sesuatu yang mengubah bau, rasa, dan warnanya” Bahkan, menurut Ibn Hajjar al-Atsqalani dalam Bulughul Maram, hadits dua qullah di atas ternyata dilemahkan oleh banyak Imam.

Namun, jikapun kita berpegang pada hadits ini, maka yang paling kuat adalah menetapkan makna dua qullah sebagai jumlah air tidak mengalir yang masih belum berubah warna, rasa, dan baunya. Apabila air tersebut telah berubah warna, rasa, dan baunya, maka hendaklah kita tidak menggunakannya sebagai penyuci walaupun jumlahnya lebih dari ukuran satu seperempat hasta. Sebaliknya, jika air tersebut masih belum berubah, baik warna, rasa, serta baunya, dapat kita gunakan sebagai penyuci walaupun jumlahnya tidak memenuhi satu seperempat hasta. Karena, sebagai penegas, bahwa tidak ada satu hadits pun yang menetapkan ukuran dua qullah.

Lalu bagaimana pendapat sebagian ‘ulama tentang tidak bolehnya kita menggunakan air telah terpakai atau digunakan untuk bersuci. Mereka berpendapat bahwa air tersebut adalah air musta’mal yang tidak dapat digunakan lagi untuk bersuci. Jawaban untuk pertanyaan ini adalah sebagaimana penjelasan air dua qullah di atas. Selama masih belum berubah warna, rasa, dan baunya, maka dapat digunakan untuk bersuci. Artinya, air musta’mal tetap suci lagi menyucikan.

Hal ini juga ditegaskan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Ibn ‘Abbas, bahwa Rasulullah saw. pernah mandi dengan (air) sisa (mandi) Maymunah. Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa Rasulullah saw. biasa berwudhu dalam sebuah bejana dengan mencelupkan tangannya ke dalam bejana, sedangkan bejana tersebut juga dipakai wudhu oleh keluarganya dengan cara yang sama dengan yang beliau saw. lakukan. Wallahu a’lam.

3. Air yang bernajis

Air bernajis yaitu air yang telah berubah, baik warna, rasa, dan baunya disebabkan oleh adanya najis yang mengenainya. Hukum air ini tidak bisa digunakan, baik sebagai penyuci ataupun untuk dikonsumsi. Baik jumlahnya sedikit ataupun banyak, berdasarkan kesepakatan kita pada pembahasan dua qullah di atas. Namun, jika perubahannya bukan karena sesuatu yang najis, maka hukum air tersebut adalah tetap suci tapi tidak menyucikan.

Perubahan warna, rasa, dan bau yang disebabkan oleh benda najis tidak akan membuat air itu menjadi najis, apabila air tersebut adalah air mengalir. Hal ini berdasar atas hadits, “Air laut itu suci lagi menyucikan”. Wallahu a’lam.

4. Air Sisa Minum (asy-syu’ar)

Air sisa minuman yaitu air yang masih terdapat dalam wadah/ bejana setelah diminum. Hukum dari sisa air tersebut akan sangat bergantung kepada siapa yang meminumnya. Air sisa minum manusia, baik mu’min maupun kafir, dalam keadaan junub, haid, atau nifas, maka hukumnya tetap suci dan menyucikan selama kemutlakannya terjaga. Begitu pun dengan sisa binatang yang halal dagingnya. Abu Bakr Ibn Mundzir mengatakan, “Para ‘ulama berijma’ bahwa sisa minuman binatang yang halal dagingnya boleh diminum dan dipakai untuk berwudhu.”

Sisa minuman bagal, keledai, dan binatang buas juga suci dan menyucikan, berdasarkan hadits dari Jabir ra. bahwa Nabi saw. pernah ditanya tentang bolehkah berwudhu dengan sisa minuman keledai, beliau saw. menjawab, “Boleh..!”. Demikian pula dengan sisa minuman semua binatang buas. (HR. Syafi’i, Daruquthni, dan Bayhaqi). Hal yang sama berlaku bagi minuman sisa kucing. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Kucing itu tidak najis. Ia termasuk binatang yang berkeliling dalam lingkunganmu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dan Nasa’i).

Adapun sisa minuman Anjing, maka hal tersebut adalah najis yang harus dijauhi. Dari Abu Hurayrah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Bila anjing minum pada bejana salah seorang di antara kamu, hendaklah tempat bekas minumnya dicuci sebanyak tujuh kali.” (HR. Bukhari – Muslim).

Dalam riwayat Ahmad ditambah, “dan cucian yang pertama mestilah dengan tanah.” Begitu pun dengan Babi, air sisa minumnya adalah najis karena kotor, menjijikan, dan berdasarkan nash-nash al-Quran yang sudah jelas.

DEBU

Dari Jabir ra., bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku: Aku diberi kemenangan dari perjalanan sebulan, dan dijadikan bumi itu sebagai tempat shalat dan penyuci; …” (Muttafaq ‘Alayh). Diriwayatkan oleh Muslim dari Hudzayfah, “…dan dijadikan tanah itu penyuci bagi kita apabila kita tidak mendapatkan air”. Diriwayatkan oleh Ahmad dari ‘Ali ibn Abi Thalib, “…dan dijadikan tanah bagiku sebagai penyuci”. Tanah atau debu merupakan alat penyuci selain air. Saat air tidak ditemukan, maka debu bisa digunakan. Proses penyucian hadats dengan menggunakan debu disebut tayammum.

Tayammum berlaku untuk membersihkan hadats kecil atau besar dan hanya digunakan untuk melaksanakan ibadah saja. Artinya, setelah ibadah tersebut selesai dilaksanakan, maka secara hakiki hadatsnya belum dibersihkan sepenuhnya hingga ditemukannya air. Jika air belum ditemukan hingga akan melaksanakan ibadah lagi, maka tayammum kembali dilakukan untuk memenuhi syarat pelaksanaan ibadah tersebut.

Walaupun demikian, sebagian ‘ulama berpendapat bahwa penyucian hadats dengan debu sama derajatnya dengan penyucian hadats yang menggunakan air. Artinya, hadats tersebut secara hakiki benar-benar telah bersih sehingga dapat beribadah tanpa harus mengulang tayammum untuk setiap ibadah. Golongan ini berbeda pendapat saat telah menemukan air. Pendapat pertama mengemukakan bahwa seseorang yang telah bertayammum harus mengulang penyuciannya dengan air saat telah menemukan air, sedangkan pendapat kedua tidak apa untuk tidak mengulangnya, karena dirinya telah suci, kecuali jika dirinya kembali berhadats, maka harus menggunakan air. Wallahu a’lam.

Dalam sebuah riwayat disebutkan pula bahwa debu pun bisa membersihkan najis. Bahkan untuk menghilangkan najis yang berat, sesuatu harus dicuci tujuh kali dengan satu kali penyucian menggunakan debu. Rasulullah saw. bersabda, “Bersihnya bejana seorang di antara kalian yang airnya telah dijilat anjing adalah setelah ia dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan tanah.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat yang lain, dari Ibn ‘Umar, beliau berkata : “Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa menjulurkan pakaiannya (di tanah), Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”. Ummu Salamah bertanya : “Apa yang harus dilakukan para wanita dengan ujung-ujung baju mereka?”, Rasulullah menjawab: “Mereka menurunkannya (di bawah mata kaki) hingga sejengkal”. “Kalau begitu akan tersingkap kaki-kaki mereka”, jelas Ummu Salamah. Rasulullah saw. berkata (lagi): “Mereka turunkan hingga sehasta dan jangan melebihi kadar tersebut”. Ummu Salamah berkata lagi: “Bagaimana jika terkena najis?” Rasulullah saw. menjawab: “Sapuan yang kedua adalah penyucinya.” Maksudnya adalah pada saat kain yang menjulur itu mengenai najis yang ada di tanah, maka sesungguhnya najis itu telah dibersihkan oleh debu-debu yang juga menyapu kain tersebut.

Kita lihat bagaimana Rasulullah saw. memberikan rukhshah bagi para wanita untuk mengenakan pakaian hingga satu hasta di bawah mata kaki, karena memang demikianlah yang diperintahkan oleh Allah swt., yaitu menutup aurat dengan sempurna. Sedangkan lebih dari satu hasta merupakan perbuatan yang berlebih-lebihan dan tidak ada faedahnya sama sekali.

Sama halnya dengan pria, tidak ada faedahnya untuk menjulurkan pakaiannya hingga menyentuh tanah. Walaupun sapuan kedua merupakan penyucinya, namun hal ini tidak berlaku bagi pria. Sabda Rasulullah saw., “Dan janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun. Engkau berbicara dengan saudaramu sambil bermuka manis juga merupakan kebaikan. Angkatlah sarungmu hingga tengah betis. Jika engkau enggan maka hingga kedua mata kaki. Waspadalah engkau dari isbal karena sesungguhnya hal itu (isbal) termasuk kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan”. (HR. Ahmad (V/64) no 20655, Abu Dawud (IV/56) no 4084, dan dari jalannya al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubra (X/236) no 20882, dan di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani)

PERMASALAHAN NAJIS

Pengertian Dalam Fiqh Sunnah, Ust. Sayyid Sabiq berkata, “Najis adalah kotoran yang setiap muslim wajib menyucikan diri darinya dan menyucikan setiap sesuatu yang terkena kotoran najis tersebut.” Benda-Benda Najis Segala sesuatu di muka bumi ini adalah suci, selama tidak ada dalil (baik al-Quran maupun Hadits) yang menunjukkan dengan qath’i bahwa sesuatu tersebut adalah najis. Di antara benda najis tersebut adalah.

1. Bangkai binatang selain dari mayat manusia

Binatang yang tercekik, terbunuh, dan mati tanpa disembelih menjadi najis. Maka, diharamkan untuk memakannya. Barangsiapa yang menyentuhnya, maka yang tersentuh tersebut harus dibersihkan hingga tidak meninggalkan bekas. Namun, Rasulullah saw. telah menghalalkan dua buah bangkai, yaitu ikan dan belalang. (HR. Ahmad, Syafi’i, Ibn Majah, Bayhaqi, dan Daruquthni dari Ibn ‘Umar).

Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir, seperti semut, lebah, dan lainnya, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam sesuatu dan kemudian mati, maka tidaklah menyebabkan tempat tersebut najis. Begitu pun dengan tulang bangkai, tanduk, bulu, rambut, kulit, kuku serta perkara yang sejenis dengan itu, maka dikategorikan suci. Karena asalnya suci dan tidak ada satu dalil pun yang menyatakan najis. Begitu menurut Ust. Sayyid Sabiq.

2. Darah dan Nanah

Segala macam darah itu adalah najis, akan tetapi darah yang sedikit dimaafkan. Satu atau dua tetes darah, atau darah yang tersisa pada daging, darah yang menempel pada luka, darah nyamuk, serta darah bisul, maka ia dimaafkan berdasarkan atsar. Begitu pun bagi nanah. Imam Ibn Taymiyah tidak menghukumi nanah sebagai najis, beliau berkata, “Tidak mengapa karena yang disebut Allah hanyalah darah dan tidak ada yang menyebutkan tentang nanah.”

3. Daging Babi

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu najis (rijsun) – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’aam, 6: 145)

Sudah jelas bahwa babi memang najis (rijsun). Namun, sebagian ‘ulama memperbolehkan bulu babi untuk digunakan sebagai benang jahit. Wallahu a’lam…

4. Muntah, Kencing, dan Kotoran Manusia

Para ‘ulama telah bersepakat bahwa semuanya najis. Namun, tidak demikian bagi muntah yang sedikit. Begitu pun air kencing bayi laki-laki yang hanya meminum ASI. Kedua hal tersebut diringankan dan cara membersihkannya adalah cukup dengan memercikkan air ke atasnya.

5. Wadi, Madzi, dan Mani

Wadi adalah cairan putih kental yang keluar mengiringi air kencing, hukumnya najis dan harus dibersihkan sebagaimana membersihkan air kencing. Sedangkan madzi, dijelaskan Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqh Kontemporer sebagai, “Cairan putih, jernih, dan rekat, yang keluar ketika sedang bercumbu, atau melihat sesuatu yang merangsang, atau ketika sedang mengkhayalkan hubungan seksual. Keluarnya madzi tidak disertai syahwat yang kuat, tidak memancar, dan tidak diahkiri dengan kelesuan (loyo, letih), bahkan kadang-kadang keluarnya tidak terasa. Madzi hukumnya seperti hukum kencing, yaitu membatalkan wudhu (dan najis) tetapi tidak mewajibkan mandi. Bahkan Rasulullah saw. memberi keringanan untuk menyiram pakaian yang terkena madzi itu, tidak harus mencucinya.” Begitu pun menurut Ust. Sayyid Sabiq, beliau berkata, “Mendapatkan keringanan sebagaimana kencing bayi laki-laki”. Sedangkan mani menurut pendapat yang kuat adalah suci. Cara membersihkannya cukup menghapusnya dengan secarik kain atau dengan dedaunan.

6. Kencing dan Kotoran yang Haram Dagingnya Ust. Sayyid Sabiq berkata, “Keduanya termasuk najis berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ibn Majah, dan Ibn Khuzaymah dari Ibn Mas’ud ra.. Rasulullah saw. berkata, “Ini adalah najis”. Sedangkan bagi binatang yang halal dagingnya tidak najis, karena Rasulullah saw. pernah menggunakan air kencing unta sebagai obat. Imam Syawkani mengatakan, “Pendapat yang kuat ialah kencing dan sisa makanan dari setiap hewan yang halal dagingnya adalah suci.” Begitu pun pendapat Imam Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah dalam ath-Thibb an-Nabawi. Sementara ‘ulama yang lain berpendapat bahwa hadits tersebut hanya menunjukkan kencing unta saja, tidak berlaku pada hewan yang lainnya. Namun, Ust. Sayyid Sabiq menegaskan bahwa yang kuat adalah tidak najis bagi hewan yang halal dagingnya.

7. Binatang Jallalah Binatang jallalah yaitu segala jenis binatang yang memakan kotoran. Binatang jallalah dihukumi najis karena adanya larangan mengendarai, memakan daging, serta meminum susunya. Ibn ‘Abbas berkata, “Rasulullah saw. melarang meminum air susu binatang jallalah.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, dan Turmudzi). Dalam riwayat lain disebutkan, “Rasulullah saw. melarang mengendarai binatang jallalah.” Sedangkan dari ‘Amr ibn Syu’ayb, dari ayah, dari kakeknya ra. berkata, “Rasulullah saw. melarang keledai piaraan dan binatang jallalah, baik untuk dikendarai maupun untuk dimakan dagingnya.” (HR. Ahmad, Nasa’i, dan Abu Dawud).

8. Khamr Jumhur ‘ulama berkata bahwa arak merupakan benda najis sebagaimana QS. Al-Maa’idah, 5: 90, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (keji, kotor, atau najis), termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Sedangkan sebagian lainnya tidak. Mereka berpendapat bahwa yang dimaksud rijsun pada ayat tersebut adalah dari sisi ma’nawi, bukan pada zatnya (dzati). Sebagaimana kata rijsun pada QS. Al-Hajj, 22: 30. “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang rijsun itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. Berhala tidak najis bila disentuh, maka begitu pun dengan khamr. Karena memang kata rijsun dalam kedua ayat tersebut menunjukkan rijsun dari sisi ma’nawi bukan dzati. Sedangkan hukum haramnya khamr telah qath’i dan tidak bisa dibantah lagi. Satu ataupun dua tetes, khamr tetap diharamkan.

9. Anjing Anjing adalah najis dan wajib mencucinya apa saja yang terkena jilatnya, Dari Abu Hurayrah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Bila anjing minum pada bejana salah seorang di antara kamu, hendaklah tempat bekas minumnya dicuci sebanyak tujuh kali.” (HR. Bukhari – Muslim). Dalam riwayat Ahmad ditambah, “dan cucian yang pertama mestilah dengan tanah”. Sedangkan bulu anjing, tidak ada satupun dalil yang menyatakan najis.

Cara Membersihkan Najis

Dalam bersuci, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Khususnya yang berkaitan dengan penggunaan air. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Berhemat-hematlah dalam menggunakan air, sekalipun menggunakan air mengalir”. Berlebih-lebihan dalam menggunakan air merupakan sifat yang tercela, karena sifat berlebih-lebihan (mubadzir) adalah sifat syaithan yang dibenci oleh Allah swt.. Perlu diingat pula bahwa setiap tetes air yang kita gunakan akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Allah swt. berfirman dalam al-Quran.

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah, 99: 7-8)

1. Buang Air Rasulullah saw. melarang seseorang buang air kecil pada air yang tidak mengalir karena dikhawatirkan hal itu akan membuat najis air tersebut. Diriwayatkan dari Abu Hurayrah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian kencing pada air yang tidak mengalir.” (HR. Muslim).

Beliau saw. juga melarang seseorang mandi junub pada air yang tidak mengalir dengan mencelupkan badannya. Beliau saw. bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian mandi pada air yang tidak mengalir, padahal ia sedang berjunub.” Selain itu, salah satu kebiasaan beliau saw. yang juga patut kita contoh adalah bahwa beliau saw. buang air kecil dengan jongkok. ‘A`isyah ra. berkata, “Barangsiapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Nabi saw. kencing sambil berdiri, maka janganlah kalian percaya. Beliau tidak pernah kencing kecuali sambil duduk (jongkok)”. (HR. Turmudzi).

Selain merupakan sunnah Nabi saw., kencing dengan jongkok juga lebih baik dan lebih sehat. Kencing berdiri memungkinkan air kencing tidak keluar dengan sempurna sehingga akan menyebabkan endapan pada ginjal. Sisa-sisa air kencing yang mengendap ini, jika dibiarkan terlalu lama akan menyebabkan pengerasan dan pada akhirnya dapat menimbulkan batu ginjal. Kencing sambil jongkok dapat menuntaskan air kencing sampai ke titik terakhir sehingga endapan di ginjal dapat diminimalisir. Bahkan, lebih baik lagi, pada pria khsusunya, untuk mengurut kemaluan tiga kali agar dapat mengeluarkan sisa-sisa air kencing hingga tuntas.

Dalam Risalah fii Amradhil Qulub, Imam Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah mengulang pernyataan Imam Ibn Taymiyah yang melarang melakukan hal demikian (mengurut tiga kali, berdehem, atau yang lainnya). Menurutnya, perbuatan demikian adalah perbuatan orang-orang yang ragu, sedangkan orang-orang yang ragu lebih dekat dengan syaithan. Imam Ibn Taymiyah juga menegaskan bahwa seluruh hadits yang berkaitan dengan hal demikian adalah dhaa`if dan tidak bisa dijadikan hujjah. Menurutnya, kantung air kencing seperti kantung susu, jika tidak diurut maka ia tidak akan keluar.

Perlu difahami bersama bahwa pendapat saya bukan bermaksud menentang pendapat Imam Ibn al-Qayyim ataupun Imam Ibn Taymiyah dalam masalah waswas. Ilmu modern senantiasa berkembang dan saat ini telah menemukan bahwa kencing yang tidak tuntas dapat mengakibatkan berbagai penyakit kronis. Tentu saja, sebagaimana kesepakatan di awal bahwa langkah preventif dalam Islam lebih diutamakan daripada langkah kuratif. Artinya, tidaklah termasuk golongan muwaswis (orang-orang yang ragu) orang yang melakukan hal demikian untuk mencegah penyakit yang berbahaya. Bahkan, bisa jadi mendapat nilai kebaikan di sisi Allah swt.. Bisa jadi, Imam Ibn Taymiyah berpendapat demikian karena banyaknya muwaswis pada masanya yang menyebarkan rasa waswas pada ummat sehingga dapat membahayakan, sedangkan di sisi lain, ilmu pengetahuan pun belum berkembang seperti pada saat masa kini. Apalagi, dalam permasalahan furu’iyyah, fatwa bisa berubah sesuai dengan tempat dan masa.

2. Menyucikan Badan dan Pakaian

Menurut Ust. Sayyid Sabiq, pakaian dan anggota badan yang terkena najis hendaknya dicuci dengan air hingga hilang dan tidak tampak lagi wujudnya. Namun, bila setelah dicuci bekasnya masih ada, maka hal tersebut dimaafkan. Jika najisnya tidak terlihat seperti air kencing, maka cukuplah mencuci walaupun hanya satu kali. Jika najis tersebut adalah pakaian bawah wanita, maka tanahlah yang menyucikan sehingga tidak perlu khawatir akan kesuciannya sebagaimana yang telah dibahas dalam Sub Bab Debu.

Begitu pun dengan bagian bawah sandal atau sepatu. Tanah adalah penyucinya. Sedangkan bila yang terkena najis bagian atasnya, maka menyucinya adalah dengan menghilangkan terlebih dahulu najisnya. Bekasnya cukup dilap dengan benda keras sebanyak tiga kali, sebagaimana membersihkan tempat istinja’. Bila yang terkena najis berupa cermin, pisau, pedang, kuku, bejana berkilat, serta setiap kepingan yang tidak memiliki lubang, menurut Ust. Sayyid Sabiq, cukup dilap atau digosok hingga bersih.

3. Menyucikan Tanah

Setiap tanah yang kering atau debu adalah suci dan menyucikan. Jika terkena najis yang kering, maka cukup dibuang najis tersebut. Sedangkan jika najisnya cair, maka menyucinya adalah dengan menyiramkan air di atasnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. saat membersihkan air kencing seorang badwi yang kencing di masjid, yang diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Imam Muslim dari Abu Hurayrah, “Ada seorang badwi berdiri lalu kencing di dalam masjid. Lantas para shahabat pun berdiri untuk menangkapnya.

Nabi saw. bersabda, ‘Biarkanlah dia dan siramlah kencingnya dengan seember air, sebab kalian diutus untuk memberi keringanan, bukan untuk menyebabkan kesukaran kepada orang lain.”

4. Menyucikan Makanan yang Terkena Benda Najis Menyucikan makanan yang terkena najis juga bergantung pada sifat najis dan sifat makanan tersebut. Jika najis mengenai benda beku (kering), maka buanglah najis tersebut dan benda yang terkena najisnya, sedangkan sisanya tetap suci. Bila makanannya bersifat cair (minuman), maka seluruhnya menjadi najis berdasarkan kesepakatan ‘ulama. Sedangkan bila minuman tersebut dihinggapi lalat, maka celupkanlah lalat itu, dan kemudian bisa diminum. Sebagaimana sabda Nabi saw., “Apabila seekor lalat masuk ke dalam minuman salah seorang kalian, maka celupkanlah ia, kemudian angkat dan buanglah lalatnya sebab pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya ada obatnya”. (HR. Bukhari, Ibn Majah, dan Ahmad).

Dalam riwayat yang lain: “Sungguh pada salah satu sayap lalat ada racun dan pada sayap lainnya obat, maka apabila ia mengenai makananmu maka perhatikanlah lalat itu ketika hinggap di makananmu, sebab ia mendahulukan racunnya dan mengakhirkan obatnya”. (HR. Ahmad dan Ibn Majah).

Permasalahan lalat ini telah dibuktikan secara ilmiah oleh para peneliti dari IIIM (International Institute of Islamic Medicine), sebagaimana dikutip oleh islamicmedicine.org. Dari hasil penelitian tersebut ditegaskan bahwa bagian sayap dari lalat memproduksi zat sejenis enzim yang berukuran sangat kecil. Zat tersebut dinamakan Bakter Yofaj, yaitu tempat tubuhnya bakteri. Tempat ini menjadi tumbuhnya bakteri pembunuh dan bakteri penyembuh yang ukurannya sekitar 20:25 mili mikron. Karenanya, jika seekor lalat mengenai minuman atau makanan yang cair, maka celupkanlah keseluruhan bagian dari lalat tersebut agar bakteri penyembuh juga ikut dikeluarkan.

5. Menyucikan Kulit Binatang

Menyucikan kulit binatang yang sudah mati, baik bagian luar ataupun bagian dalamnya, sebagaimana yang diucapkan oleh Ust. Sayyid Sabiq adalah dengan cara menyamaknya. Hal ini berdasarkan hadits Ibn ‘Abbas, “Nabi saw. pernah bersabda, ‘Jika kulit disamak, maka ia menjadi suci’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

6. Beberapa Masalah Lainnya

Dengan dalih kehati-hatian, kita lihat beberapa orang begitu berlebihan dalam thaharah, sehingga pada akhirnya memberikan kesulitan bagi ummat. Padahal, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Permudahlah jangan mempersulit”. Sebagaimana yang telah disampaikan para ‘ulama salaf bahwa ciri seorang yang faqih adalah mereka yang mudah dalam bersuci. Jika seorang terkena sesuatu yang tidak jelas najis atau tidaknya, maka tidak perlu ia mencaritahu apakah zat tersebut najis atau tidak, karena Allah swt. telah memaafkannya.

Hal ini pernah dilakukanoleh ‘Umar ibn Khattab yang pernah terkena suatu benda yang dibuang oleh seseorang, lalu kemudian beliau ra. mendiamkannya, bahkan ketika seorang shahabat bertanya kepada orang tersebut apakah benda itu najis atau tidak, ‘Umar ibn Khattab malah berkata, “Pertanyaan itu tidak perlu dijawab”. Namun, bila seorang yang ingin membersihkan najis dari suatu tempat atau pakaian, sedangkan ia tidak tahu pasti tempat najis tersebut, maka ia wajib menyucikan keseluruhannya.

Jika seseorang shalat padahal pakaiannya terkena najis dan belum dibersihkan atau ia lupa membersihkannya dan hal tersebut baru ia ketahui atau ia ingat setelah selesai shalat, maka ia harus membersihkan pakaian tersebut tanpa harus mengulang shalatnya. Allah swt. berfirman, “…Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya…” (QS. Al-Ahzaab, 33: 5).

Wallahu a’lam

Ath-Thibb An-Nabawi (2) Juli 1, 2008

Posted by hudzayfah in Metode Pengobatan Nabi saw..
Tags: , ,
2 comments

Pengobatan Hari Ini
Hari ini, kiblat pengobatan dunia tertuju pada setidaknya lima jenis metode pengobatan. Empat di antaranya merupakan metode pengobatan tradisional yang walaupun kurang diperhitungkan, namun seringkali efeknya lebih terasa dibandingkan metode pengobatan modern. Walaupun, kadangkala tidak dapat terbuktikan secara ilmiah.
Lima jenis metode pengobatan yang kini tengah menjadi kiblat pengobatan dunia hari ini adalah metode pengobatan modern (alopati), Mistis, Ayurveda, Yin dan Yang, serta Ath-Thibb An-Nabawi.

a.    Alopati
Sebenarnya, ilmu kedokteran modern atau yang lebih dikenal dengan isatilah alopati merupakan pengembangan dari ilmu kedokteran Islam. Karena, acuan ataupun sumber rujukan utama dari alopati adalah Al-Qanun Fii Ath-Thibb (The Canon of Internal Medicine) karangan Ibnu Sina. Terlepas dari pro kontra pemikiran filsafat yang diusungnya, Ibnu Sina tetap menjadi seorang ilmuwan muslim yang memberikan manfaat cukup besar bagi ilmu kedokteran Islam pada masanya. Sehingga Ibnul Qayyim al-Jawziyyah yang dalam permasalahan ‘aqidah banyak mengkritik Ibnu Sina, namun tetap menjadikan Al-Qanun sebagai rujukannya saat menyusun kitab Thibbun Nabawi, salah satu bagian dari kitab Zaadul-Maad.
Perbedaan yang signifikan antara ilmu kedokteran Islam dengan alopati yang dikembangkan di Barat pasca renaissance adalah pada obat-obatan yang digunakannya. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka Barat berupaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang kedokteran dengan bantuan teknologi. Di satu sisi tentu saja ini merupakan kemajuan yang patut dibanggakan. Proses pengobatan menjadi semakin mudah. Khususnya saat menangani kecelakaan, pemindahan organ tubuh, dan operasi lainnya.
Namun di sisi lain, bahan-bahan kimia diraciknya menjadi sebuah obat yang menurutnya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Apa benar bahan-bahan kimia merupakan penyembuh..? Atau justru bahan-bahan kimia lah yang menjadi sumber penyakit yang aneh dan baru muncul belakangan..?
Salah satu contohnya adalah dalam proses penyembuhan penyakit kanker. Barat berupaya untuk menyembuhkannya dengan bahan-bahan kimia sintetis yang sebenarnya justru membahayakan manusia. Prof. Robin Baker, dalam The Reality Behind The Headlines, menyatakan bahwa kanker erat kaitannya dengan bahan-bahan kimia dan pola hidup yang tidak sehat. Kelebihan alkohol dapat menyebabkan kanker hati. Asap rokok dan minuman beralkohol dapat menyebabkan kanker tenggorokan. Nikotin dapat menyebabkan kanker lidah, dan begitulah seterusnya… bahan kimia, bahan kima; kanker, kenker.
Termasuk saat Barat mempropagandakan tabir surya untuk mencegah kanker kulit. Maka, berbondong-bondonglah orang-orang yang berjemur di pantai atau mereka yang akan terkena sinar Ultra Violet secara langsung menggunakan masker kulit, baik berupa lotion, spray, atau yang lainnya. Namun, apa yang terjadi..?
Dikatakan oleh Prof. Robin Baker, di Inggris, pada tahun 1935, resiko seorang terkena kanker kulit hanya 1:1500 orang. Sedangkan pada tahun 2000, resiko itu meningkat 20 kali lipat menjadi 1:75 orang saja..!!!
Hal ini disebabkan bahwa tabir surya pada dasarnya merupakan bahan kimia buatan yang normalnya tidak digunakan oleh manusia sebagai pelindung kulit. Karena berkali-kali penelitian dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa penyebab kanker kulit adalah penggunakan bahan-bahan kimia secara intensif dan/atau ekstensif yang tidak alami.
Contoh lainnya adalah penggunaan vaksin yang dapat menyebabkan rusaknya organ-organ tubuh sehingga seorang yang telah mendapatkan vaksin akan mengalami penurunan imunitas, sehingga tubuhnya lemah dan mudah terserang penyakit. Bahkan, beberapa kasus telah menunjukkan bahwa seorang bisa cacat atau meninggal setelah menggunakan vaksin.
Begitu pun dengan bahan-bahan kimia yang terkandung dalam obat-obatan modern lainnya. Seluruh obat-obatan tersebut bukan merupakan sebuah pengobatan holistik, tetapi wholistic. Sifat dari obat-obatan kimia sintetis adalah menyerang bakteri dan membunuhnya, bukan meningkatkan sistem imunitas tubuh. Maka, kita kenal sebuah istilah anti-biotik (biotik= kehdupan). Jadi, pengobatan alopati bersifat keras dan membunuh.
Sebagian besar obat-obatan kimia sintetis pun tidak tepat sasaran karena sifatnya yang tidak menyerang sumber penyakit. Obat-obatan tersebut akan meredakan rasa sakit, namun tidak menyembuhkannya (bersifat symptomiatic treatment). Sehingga penyakitnya masih terus berkembang dan dosis pengobatannya pun semakin bertambah dan bertambah.
Selain itu, sebagian pengobatan alopati hanya merangsang saraf untuk tidak merasakan penyakit yang dideritanya. Otak dipaksa untuk mengalihkan perhatiannya, sehingga sakitnya tidak terasa. Sedangkan sumber penyakitnya dibiarkan begitu saja. Jadi, obat-obatan modern bersifat menipu dan tentu saja sangat sementara. Sedangkan sumber penyakit terus berkembang dan dibiarkan saja. Maka, apa yang akan terjadi selanjutnya..? Ya, penyakit menjadi semakin parah, sukar diobatai, dan akhirnya menyebabkan kematian.
Selain itu, dalam pengobatan alopati, bahan kimia sintetis selalu menimbulkan efek samping. Saat kita meminum obat jantung, misalnya, maka bisa jadi dalam waktu yang bersamaan kita sedang merusak ginjal kita. Begitu pun saat kita sedang mengobati ginjal kita, bisa jadi kita sedang merusak hati kita.
Hal terakhir yang menjadi sangat penting bagi kita adalah masalah halalan thayyiban dari pengobatan alopati. Karena dalam beberapa kasus ditemukan banyak sekali barang haram dan syubhat yang digunakan untuk meracik obat-obatan kimia sintetis ini, seperti gelatin babi, otak bayi, daging manusia, dan yang lainnya. Padahal, Rasulullah Muhammad saw. pernah bersabda:
إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرمه الله ) رواه البخاري(
“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan kesembuhan dengan sesuatu yang Dia haramkan atasmu”.

b.    Mistis
Diakui atau tidak, pengobatan mistis yang penuh dengan kemakshiyatan ini masih berkembang dan menjadi salah satu rujukan pengobatan saat ini. Walaupun di dalamnya terdapat unsur-unsur kemusyrikan dan TBC (tahayyul, bid’ah, dan churaffat), namun sebagian dari ummat masih saja mencarinya sebagai pengobatan alternatif.
Kita mesti berhati-hati dan dengan segera memeperingati ummat agar tidak terjebak pada praktik yang telah menyimpang ini. Sabda Rasulullah Muhammad saw.
من أتى كاهنا فسأله عن شيء فصدقه فقد كقر بما انزل على محمد  yومن اتى كاهنا ولا يصدقة لم تقبل له صلاة اربعين يوما (رواه الطبراني)
“Barang siapa yang datang kepada dukun menanyakan suatu perkara lalu membenarkan ucapan dukun itu, kufurlah ia terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad saw., dan barang siapa datang dan tidak membenarkannya, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Thabrani)

c.    Ayurveda
Pengobatan jenis ini merupakan sebuah tradisi ummat Hindu yang metodenya telah tercatat di dalam kitab Veda. Salah satu metode yang diajarkannya adalah Therapi Urine atau Terapi Air Seni. Yaitu menggunakan air seni penderita untuk mengobati sakit yang dideritanya. Terapi ini merupakan terapi yang telah biasa dilakukan oleh orang-orang Majusi.
Dalam Kitab Damar Tantra, salah satu bagian dari Rigvedic ditemukan bahwa ada sebuah kaidah Shivambu Kalpa Vidhi (metode meminum air seni supaya tetap muda). Air seni yang diistilahkan dengan Shivambu (secara harfiah berarti air Shiva) dianggap sebagai air suci milik Dewa Shiva (Siwa) yang dapat memberikan manfaat kepada manusia.
Walaupun demikian, dilihat dari sudut keilmiahannya, tidak ada satu pun catatan yang mendukung terapi ini. Hal diperkuat oleh ungkapkan seorang ilmuwan Barat yang meneliti metode ini, Dr. Charles H. Duncan pada tahun 1918. Apalagi, Islam jelas-jelas melarang penggunaan obat-obatan yang najis dan haram.

d.    Yin & Yang
Saat ini, pengobatan yang cukup berkembang selain pengobatan modern atau alopati adalah pengobatan tradisional China. Metode pengobatan China memang telah maju sejak 2500 SM.
Pengobatan ini erat kaitannya dengan kepercayaan mereka atas kuasa dua unsur dalam kehidupan. Begitulah kehidupan berjalan menurutnya. Jika keduanya (Yin dan Yang) seimbang, maka kehidupan pun akan menjadi seimbang pula. Manusia sehat dan tidak sakit.
Bentuk terapi yang digunakannya cukup banyak. Di antaranya adalah terapi akupuntur, akupresur, pijatan dengan tangan,  tongkat, biji-bijian, batu, terapi dengan jamu, magnet tubuh, sihir, dan lain sebagainya.
Unsur Budha kemudian memengaruhi pengobatan ini. Maka, ada beberapa gerakan senam yang dijadikan terapi pengobatan tersebut, seperti Yoga yang berasal dari ajaran Dahtayana, yang pada awalnya hanya terbatas pada kalangan biarawan/wati saja. Pengobatannya dilakukan dengan rabaan, renggangan, dan pernafasan yang berkonsentrasi pada kepercayaan roh-roh halus, sehingga memunculkan kekuatan yang disebut sebagai kekuatan “Chie”.

e.    Ath-Thibb An-Nabawi
Thibbun Nabawi yaitu Metode Pengobatan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. berdasarkan atas wahyu Allah swt.. Maka, metode ini merupakan satu-satunya metode yang diridhai oleh Allah swt dan Rasulullah Muhammad saw. tercinta.
Metode pengobatan Nabi merupakan satu dari sekian banyak bagian dari ilmu fiqh. Namun, sayangnya sebagian besar ummat – bahkan ‘ulama – telah melupakannya. Sehingga, keberadaannya timbul-tenggelam. Padahal, pengobatan ini merupakan sebuah sunnah yang harus tetap dijaga oleh ummat sebagai sebuah kebanggaan dan penghambaan yang sempurna kepada Allah swt..
Metode Pengobatan Nabi telah ditulis dalam banyak kitab Hadits dan Fiqh. Imam al-Bukhari menyusun hadits-hadits yang berkaitan dengan Thibbun Nabawi dalam BAB Ath-Thibbun Nabiy. Imam Suyuthi dan Imam Ibnul-Qayyim al-Jawziyyah pun demikian. Kedua fuqaha ini sengaja menyimpan Thibbun Nabawi menjadi salah satu pembahasan dalam uraian fiqh-nya.
Maka dari itu, kewajiban mempelajari Thibbun Nabawi serta mengamalkannya sama dengan kewajiban kita dalam mempelajari dan mengamalkan ilmu-ilmu fiqh yang lainnya, seperti thaharah, shalat, shiyam, zakat, haji, jihad, atau jinayat. Para ‘ulama harus kembali membuka catatan kedokteran Islam untuk dikembangkan dan dikolaborasikan dengan metode kedokteran modern yang tidak bertentangan dengan Islam. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibnul-Qayyim ataupun Ibnu Sina.
Jika hingga kini belum ada seorang tokoh yang mampu untuk membuka lembaran-lembaran kejayaan kedokteran Islam itu, maka biarlah kita yang akan berjuang untuk membangun kembali salah satu bagian dari syarat tegaknya peradaban Islam, yaitu tegaknya kedokteran Islam. Jika Allah melalui Rasul-Nya telah mengajarkan sebuah metode pengobatan, maka untuk apa kita masih mengamalkan yang lainnya..???

(bersambung)

Terapi Air Juli 1, 2008

Posted by hudzayfah in Metode Pengobatan Nabi saw..
Tags: , , ,
add a comment

“…Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup…”
(QS. Al-Anbiyaa’, 21: 30)

Segala puji kehadirat Allah swt. yang telah menciptakan langit, bumi, dan seisinya, serta menurunkan air dari langit ke bumi. Kemudian ditumbuhkannya dengan air itu tanaman-tanaman yang bermacam-macam warna dan jenisnya, memberi batas antara air laut dengan sungai sehingga rasanya tidak tercampur saat keduanya harus bertemu. Shalawat serta salam semoga tercurahlimpahkan atas nabiyullah wa rasulullah Muhammad saw.. Beliaulah bayaan dari segala ketentuan yang telah Allah gariskan di dalam al-Quran. Sehingga tidak sedikitpun cela yang terdapat pada dirinya. Maka, Allah swt. berfirman tentangnya bahwa telah ada suri teladan yang baik pada diri beliau saw.. Juga pada keluarganya, para Shahabat yang tidak pernah lelah untuk menjaga risalahnya yang suci serta pada tabi’in dan tabi’ut tabi’in, ‘ulama salaf ash-shaliih, yang semoga juga sampai kepada kita, ummatnya, yang insya Allah akan berpegang teguh pada sunnahnya hingga akhir zaman.
Allah swt. berfirman dalam al-Quran bahwa Dia telah menjadikan air sebagai sumber kehidupan. Bahkan ‘arsy-Nya pun ada di atas air. Dia pula yang menjadikan manusia dan hewan dari air.
Di dalam al-Quran, banyak sekali ayat yang menyinggung air serta kegunaannya.  Allah swt. pun menggambarkan kekuasaan-Nya yang menjelaskan air begitu detail dalam kacamata sains al-Quran, sehingga kita benar-benar diajak untuk mempelajari air dengan sebenar-benarnya. Ini juga sekaligus menjadi bukti kebenaran al-Quran dan kekuasaan Allah swt. yang tidak terbatas.
Di planet bumi yang kita tempati ini, 2/3 dari luasnya berupa perairan, sedangkan wilayah daratan hanya 1/3 nya saja. Begitu pun dalam tubuh manusia. Persentase air mencapai 71%, sedangkan pada janin mencapai 95%. Ketika kadar air di dalam tubuh berkurang, maka sistem metabolisme tubuh tidak akan berjalan dengan baik. Karena air berperan penting dalam proses menelan makanan, menghaluskan, mencerna, memindahkan, dan mendistribusikannya. Bersamaan dengan itu, air ikut memperlancar proses penyebaran vitamin, hormon, oksigen, menjaga suhu panas dan kelembapan tubuh. Artinya, dapat dikatakan bahwa tidak akan ada kehidupan jika di dunia ini tidak ada air.
Kita lihat dalam sejarah peradaban manusia, bahwa peradaban-peradaban yang muncul dengan segala kemajuannya selalu berkembang di sekitar wilayah perairan. Kita kenal peradaban Mesir Kuno yang dibangun di sekitar sungai Nil. Begitu pun peradaban India Kuno yang dibangun di sekitar sungai Gangga. Sedangkan masyarakat China Kuno memilih sungai Hwang Ho sebagai pusat kehidupannya.
Peradaban bangsa Arab berkembang sejak munculnya sumur zamzam. Maka, wilayah Hijaz menjadi sebuah kota baru yang sebelumnya dikenal dengan wilayah yang gersang dan tanpa kehidupan.
Begitulah kehidupan di dunia ini. Siklusnya selalu berhubungan dengan keberadaan air. Jangankan untuk kehidupan dunia secara keseluruhan. Seorang manusia saja pasti tidak mampu bertahan tanpa air dalam waktu yang cukup panjang. Berbeda dengan lapar yang masih bisa ditahan untuk beberapa saat. Namun, rasa haus tidak akan mampu ditahan sebagaimana kita menahan rasa lapar.

(bersambung)